Maiyah Kalijagan Demak di kafe Angkasa, Oktober 2017 saat itu mengankat tema Suluk Linglung. Saya akan menuliskan cerita Kang Akhyar. Ia teringat cerita dari ayahnya, mengkisahkan perjalanan Sunan Kalijaga yang hendak pergi haji melalui jalur laut dengan berenang. Sesampai di tengah samudra beliau sangat letih dan tak berdaya. Dalam keadaan itu beliau pun pasrah. Tanpa diduga beliau melihat manusia sedang berjalan di atas air dan menghampirinya. Keadaan tidak bisa diterima nalar dan bingung, ada sesosok manusia bisa berjalan di atas air. Mungkin wajar jika Sunan Kalijaga mengalami linglung dan bingung, apalagi kita ini yang awam. Ternyata sesosok itu adalah nabi Khidir, alaihissalam.
Setelah berhadapan dengan nabi Khidir, beliau memerintahkan Sunan Kalijaga untuk masuk ke dalam tubuhnya, akan tetapi lewat telinganya. Nah, linglung lagi, kok masuk ke telinganya. Sesampai di dalam tubuh nabi Khidir, alangkah lebih membingungkan lagi. Di dalam tubuh nabi Khidir dia melihat luasnya alam jagad raya semesta. Disitu beliau melihat cahaya warna warni yang bersinar. Warna warni cahaya apa itu? Ternyata cahaya itu cahaya dunia yang berwarna warni. Begitulah kisah kang Ahyar.
Apa yang dimaksudkan cahaya sebenarnya? Neraka juga punya cahaya. Dalam puisi saya, Setitik Cahaya, itu cahaya apa? Karena dunia ini penuh dengan cahaya. Banyak orang bicara cahaya, cari cahaya-cahaya tapi tidak tahu cahaya apa yang harus di cari dan yang sedang dimiliki atau tengah dirasakan. Cahaya menurutku adalah sesuatu yang menerangi, yang mempunyai fungsi yang diterangi akan tampak jelas, hingga bisa melihat segala bentuk, warna, tempat, arah, dsb. Dengan cahaya, bergunalah mata kita.
Cahaya menurut arti abstrak yaitu sesuatu yang sangat berharga, punya nilai dan mendaya guna. Cahaya itu akronim dari cara harga jaya, yakni cara yang berharga agar jaya. Cara, bisa berarti laku atau jalan, teknik, jurus, strategi, juga metode. Harga bisa berarti manfaat, fungsi, guna, terarah, dan juga nilai. Jaya bisa berarti sukses, berhasil, kemenangan. Seperti sifat cahaya yang memantul hingga kata-kata pun memantul, membias, berkembang menjadi banyak kata-kata, sinonim dan padanan.
Coba pikirkan apa yang banyak dicari sekarang ini, yang begitu sangat berarti, yang sedang dan akan terus dibutuhkan untuk menerangi hidup kita. Pastinya ilmu dan pengetahuan, uang dan harta. Pastinya laki-laki mencari wanita, wanita menanti laki-laki, atau kita katakana sebagai jodoh. Pemimpin, baik ulama, presiden, tokoh, dan masih banyak lagi yang kita cari, yang begitu berarti dan yang sedan dan akan terus kita butuhkan untuk menerangi hidup kita. Semuanya itu alat menjadi jalan menuju cahaya.
Bercahaya di kehidupan dunia sajakah? Itu adalah perilakunya pemuja dan pecinta dunia. Bisa saja awalnya dalam hati ingin menuju Tuhan, dikarenakan lalai, terlena, akhirnya lupa. Hingga akhirnya lebih codong menuju dunia. Bercahaya menuju neraka kah? Itu orang yang munafik, dzalim, serta durhaka. Di mata orang awam, mereka terlihat pandai tapi pada hakekatnya sangat bodoh. Mereka mengira dengan kejahilannya bisa menguasai dan menipu orang, padahal tidak. Bercahayanya menuju Tuhan sebagai sumber cahaya sejati. Itulah orang yang berjalan lurus, sesuai apa yang dikehendakiNya.