(catatan reportase Kajian Islam Remasade 17 Desember 2017)
“Sholawat itu adalah syair atau puisi yang memuji Kanjeng Nabi. Pengenal pada waktu itu adalah Syekh Ja’afar Al-Berjanzi yang mana syairnya dinamakan berjanji maka setiap malam Jum’at kita bersholawat berjanji. Puisi itu suatu yang bernada. Mengenai sya’ir atau puisi ini sebenarnya sebelum Islam tradisi bersyair di Arab itu sudah ada. Penyair di Arab itu adalah orang yang terhormat di kalangan masyarakat, maka tidak heran ketika Al-Qur’an datang dengan bahasa yang sangat puitis. Lalu Islam datang, Alquran datang para penyair kagum dengan tata bahasa Alquran yang mengalahkan karya mereka. Penyair Arab dulu menciptakan syair lalu ditempel di dinding Ka’bah jika itu indah dia akan mendapatkan kehormatan oleh masyarakat”, terang Kang Hajir.
“Di Jawa dulu juga begitu, jadi ketika Islam datang khasanah ilmu di Demak adalah pesaing Majapahit. Jadi dulu ketika ilmu pengetahuan dari Majapahit ukuran sesuatu itu benar, sesuatu itu indah adalah ukuran Majapahit. Saya berharap sekarang bisa seperti itu, Demak berkembang lagi melalui ilmu pengetahuan supaya bisa bersaing dengan ilmu di kota besar supaya Demak jadi pusat lagi, seperti yang diceritakan oleh Mbah Nun kemarin bahwa Demak adalah mercusuarnya Islam di Nusantara. Sekarang nggak perlu mencari dimana kerajaannya, yang penting adalah menggali nilainya, dan nilai itu masih banyak yang belum digali. Banyak syair yang belum dibukukan dan bila dibukukan itu akan menjadi kekayaan budaya, belum lagi syair yang belum pernah dibaca, itu sebenarnya kekayaan yang dahsyat. Seperti kalau kita mengkaji Kidung Rumekso Ing Wengi itu setahun belum tentu selesai. Tembang dolanan juga sebenarnya menyimpan nilai yang diwariskan leluhur kita supaya dipelajari, kalau kita tidak mempelajari dosa, lhawong diwarisi kok ora gelem nyinauni”, lanjut Kang Hajir.
Kang Hajir merasakan bahwa sekarang banyak orang memisahkan karya Kanjeng Sunan Kalijaga dengan Islam. “Lho dudu Islam piye to, lhawong Kidung Rumekso Ing Wengi kui susunane koyok tahlil” Kata Kang Hajir. “Memang seperti itu caranya, tidak mungkin orang Jawa langsung dikasih Alquran dalam bahasa Arab. Dulu menarik orang untuk ke masjid juga menggunakan wayang dan gamelan, sekarang wayang dan gamelan malah seakan-akan terpisah dari Islam. Artinya hal-hal seperti itu yang milik kita malah kita tinggalkan”, lanjut Kang Hajir.
Lalu moderator mempersilahkan audiens bertanya. Ada seorang pemuda yang juga anggota Remasade menanyakan kebingungannya melihat di Internet tentang Islam Nusantara yang dianggap bid’ah dan berbeda dengan yang di Arab. “Itu masalah penilaian, kita masih tahap belajar. Masalah penilaian benar atau salah itu hanya Gusti Allah yang berhak menilai. Ya memang beda karena Islam datang ke sini, di Jawa itu tidak kosong budaya. Kecuali di Jawa itu kosong, Islam pasti persis seperti yang di Arab. Tapi kan tidak, Islam datang kesini itu ada Majapahit. Majapahit itu sangat kuat, orang-orang Arab yang datang kesini dulu juga kalah. Mosok wong luwih kuat kok diajari, gitu kan logikanya. Makanya perlu pendekatan, pendekatan budaya. Jika suatu budaya ingin menguasai budaya lain itu ada dua cara, pertama: dengan perang, kedua: dengan cara budaya. Walisongo menggunakan cara budaya, karena kalau perang tidak mungkin, pasti kalah. Di setiap tempat berbeda, Islam Eropa dan Arab juga berbeda. Budaya itu berbeda”. jelas Kang Hajir
“Kalau Islam Nusantara menjadi identitas maka yang terjadi adalah pertarungan. Tapi kalau yang ditonjolkan adalah nilai maka nanti akan bertemu”. tegas Kang Hajir. [Ajib Zakaria]