Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Pon, 2 Februari 2018/ 17 Jumadil Awwal 1439 | Serambi Paguyuban | bagian keempat
“Paguyuban itu modal kita, ilmu dari nenek moyang kita, yang harusnya kita pelihara. Karena dengan paguyuban itu kita bisa saling memelihara.” Sedikit percikan yang dilontarkan kang Muhajir kepada jamaah, agar para jama’ah membuka kembali kenangan-kenangan yang terjadi di masa kecilnya, masa ketika guyub masih hadir di kehidupan sehari-hari. Sementara itu, guyub sudah tidak lagi tersuguh di area perkotaaan. Semisal ada orang yang mau maling motor, tetangga sekitarnya tidak tahu itu maling atau tuan rumah pemilik motor, hingga akhirnya kejadian pencurian motor sering terjadi. Begitulah yang terjadi jika guyub tidak dibawa jamaah dalam kehidupan saat ini. Begitulah sentilan kang Muhajir sebelum Band-Anu membawakan nomor Hasbunallah, menemani jamaah memasuki peresapan-peresapan guyub agar lebih mengendap. Selain itu, sebagai media bahwa berpikir, meresapi dan menghibur diri harus berjalan bersamaan, agar dalam berpikir itu menemui titik yang pas sebagai jawaban hidupnya.
Setelah itu, jamaah diajak berpikir lagi oleh kang Muntoha Ihsan, admin grub FB, Warga Demak. Sebelum membahas tema, kang Muntoha Ihsan sedikit menceritakan ikut maiyahan di Gambang Syafaat, sewaktu masih kuliah di Semarang. Namun karena sudah lulus kuliah, kembali ke kampung halaman, ia jarang mengikuti maiyahan, karena jarak yang teramat jauh baginya. Pada malam itu, dia bersyukur bisa ikut maiyahan kembali di komplek Masjid Agung Demak, yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya, Karanganyar, Demak. Ia berharap bisa ikut maiyahan secara rutin kembali di bulan-bulan berikutnya.
Kang Muntoha Ihsan memaparkan bahwa hidup guyub di zaman now teramat susah karena kerja hidupnya, hidup industrialis. Hidup indutrialis itu waktu yang dimilikinya lebih banyak dihabiskan di tempat kerja yang tidak memiliki momentum untuk mengenal satu sama lain sesama pekerjanya. Orang sekarang menghabiskan waktunya minimal delapan jam di tempat kerja, belum ditambah waktu berangkat dan pulang kerja. Hal itu yang membuat orang sekarang, kehabisan waktu untuk berkumpul dengan tetangganya. Meski terkadang masih tersisa sedikit untuk disempatkan. Hal itu belum lagi membagi waktu buat keluarga. Apalagi kalau kerjanya di jam malam, yang menghilangkan waktu berkumpul hilang total dalam berkumpul. Hidup industrialis, tidak memiliki waktu kerja yang sama antara satu orang untuk melakukan momentum jagongan dan saling mengenal secara lebih.
Sementara orang-orang dahulu, mampu guyub karena kerja hidupnya, hidup agraris. Jam kerja yang sama antara seseorang dan tetangganya, yang dilaksanakan hanya waktu pagi hari saja. Sehingga waktu malam memiliki banyak waktu untuk jagongan dan saling mengenal. Sementara di tempat kerja antar tetangga, sehingga romantisme dan saling mengenal bisa dikatakan seharian, kecuali waktu tidur dan waktu bersama keluarga.
Kemudian, kang Muntoha menceritakan mengenai kehidupan zaman now yang seperti itu membuat dia mau tidak mau harus menciptakan ruang di dunia digital, media sosial untuk guyub. “Manusia sebenarnya memiliki fitrah untuk guyub. Maka manusia yang tidak memiliki waktu untuk kumpul, mereka memanfaatkan facebook sebagai ruang berkumpul.” tuturnya. Meski begitu, tetap saja media tersebut masih memiliki kecenderungan untuk hal positif dan negatif. Hal itu, tergantung pada pemakainya. Selain itu, karena dia selaku salah satu admin grub FB yang total penghuninya mencapai ratusan ribu, maka dia menceritakan pengalamannya sebagai admin. Dalam pengalamannya, terkadang hal negatif yang belum saja hilang yakni ketika berkumpul langsung—atau dalam bahasa kerennya kopdar(kopi darat)— seringkali masih ada beberapa anggota grub ketika bertemu malah asik main gadjetnya sendiri.
Di akhir dia bercerita mengenai pengalaman guyub di dunia maya, ia menggarisbawahi bahwa hidup guyub di dunia nyata tidak bisa tergantikan oleh guyub di dunia maya dan sosial media. “Guyub di dunia nyata itu lebih dibutuhkan daripada paguyuban yang diciptakan di dunia sosmed.” tuturnya, sebelum Gus Muhammad Aniq KHB memuncaki menemani jamaah berpikir dan sinau bareng.
Sebelumnya, ada hal yang perlu dicatat oleh jamaah maiyah mengenai hal yang disampaikan kang Muntoha. Bahwa selama jamaah maiyah masih mau belajar, khususnya belajar dari buku-bukunya Mbah Nun, yang sampai saat ini dan masa mendatang masih relevan untuk disinauni, jamaah maiyah tidak akan bisa dibohongi oleh industrialisasi hoax dan fitnah yang bertebaran di dunia maya maupun berita televisi. Dunia maiyah lebih asyik, lebih nikmat, lebih baik dari sekedar dunia maya dalam hal guyub itu tadi. [HBA/ Redaksi Kalijagan.com]