Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Pon, 2 Februari 2018/ 16 Jumadil Awwal 1439 | Serambi Paguyuban
Tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kebersamaan. Masyarakat Demak merasakan kepedihan kehilangan ini. Dalam zaman-zaman yang berlalu, Demak dibentuk dari paguyuban. Pola hidup bermasyarakat yang sering diselesaikan dengan kebersamaan. Dalam perkara urusan sosial, mereka saling bahu-membahu membantu warga yang sedang memiliki khajatan atau mengalami bencana. Ketika ada orang yang mendirikan rumah. Semua warga kerja bakti untuk mengangkat rumah. Ketika ada tetangga yang meninggal. Tanpa diperintah mereka sudah terorganisir untuk membantu keluarga yang berduka. Ikatan kebersamaan yang menggerakkan mereka untuk saling membantu meski tanpa imbalan uang.
Barangkali Demak terlalu ramah terhadap perkembangan zaman. Ia adalah wilayah yang dikelilingi laut. Juga wilayah yang diberkahi ladang sawah yang luas. Penduduknya terbagi dalam masyarakat pesisir dan agraris. Ada yang mencari ikan. Ada yang menanam padi. Ikan ada untuk lauk nasi. Nasi ada untuk mengimbangi gizi ikan. Bumi Demak memiliki kebutuhan dasar pangan tersebut. Mayoritas penduduknya menghuni laut dan sawah. Sebelum kedatangan pabrik industri yang secara pelan-pelan “mengambil” bibit petani dan nelayan. Yang membuat sawah dan laut mulai kekurangan penghuninya.
Tawaran gaji yang tetap ditambah kehidupan petani dan nelayan yang dirusak permainan harga. Membuat mereka tidak ada pilihan lain selain bekerja di pabrik. Jam kerja yang terbagi tiga bagian: pagi-sore, sore-malam, malam pagi, membuat pola hidup kebersamaan mereka berubah. Jam kerja bakti sering gagal terlaksana karena ada sebagian warga yang sedang kerja. Pendapatan gaji yang tetap membuat warga mengandalkan uang untuk membayar tukang. Kerja bakti pun menjadi jarang.
Jumat malam (02/02/2018) di depan kantor MUI Demak, bertepatan dengan satu tahun berdirinya, Majelis Maiyah Kalijagan menyodorkan tema “Serambi Paguyuban.” Pemilihan tema itu bisa secara langsung maupun tidak menanggapi isu-isu perubahan sosial yang dialami masyarakat Demak. Dalam mukadimah yang dibagikan, Kang Ahyar menulis,”Salah satu cara agar kebhinekaan itu terawat dengan baik dan harmonis yaitu dengan menciptakan ruang pertemuan. Dari pertemuan akan ada komukasi antar-manusia, antar-paguyuban, antar-budaya dan antara satu sama lain yang berbeda. Dalam komunikasi, setidaknya kita akan menemui perkenalan, kasih sayang dan cinta. Dari komunikasi itu, minimal menimbulkan reaksi guyub, yang biasanya akan berdirilah suatu paguyuban.”
Maiyah Kalijagan hadir di Demak salah satunya untuk menjadi ruang pertemuan bagi orang-orang yang ingin sinau bareng. Menggali nilai-nilai keluhuran hidup yang diwariskan nenek moyang Demak: Sunan Kalijaga, Raden Patah, dan yang lainnya. Pertemuan itu merangkum beragam cara pandang orang-orang dalam menghadapi hidup.
Hujan turun sangat deras saat saya tiba di depan pelataran Masjid Agung Demak. Lantai tergenangi air. Tikar yang digelar di lantai digulung kembali karena tidak memungkinkan digelar. Semua jamaah berhimpitan, duduk berdekatan, sembari menyimak para pengisi menjabarkan uraiannya. Suasana cukup dingin sehingga bisa dengan sekejap mengubah kopi hangat menjadi adem. Pak Nadhif Alawi yang menjadi pembicara pertama mengatakan bahwa “guyub itu soal rasa. Kebersamaan. Tanpa pamrih.” Panggilan membantu saudara atau tetangga yang sedang memiliki khajat atau sedang mengalami bencana atas pertimbangan rasa. Ikatan batin membuat seseorang tidak tega membiarkan saudara atau tetangganya merasakan kesulitan atau kesedihan sendirian. Dulu kata Pak Nadhif kita masih guyub junjung omah, membantu tetangga, dan rutin kerja bakti. Sekarang kerja bakti digantikan tukang.
“Paguyuban itu berbeda dengan organisasi. Paguyuban itu dasar awal orang bertindak. Tanpa pamrih. Berbeda dengan organisasi yang memiki tujuan tertentu. Sudah ada pamrihnya. Sayangnya, di kampus kita malah diajari organisasi bukan paguyuban.”
“Manusia itu memiliki fitrah untuk guyub,” begitu kata Kang Muntoha. Tetapi, “guyub di dunia nyata tidak bisa digantikan dengan guyub dunia maya.” Di alam pergaulan dunia maya, terdapat grup-grup berdasarkan asal daerah, profesi, komunitas, dan yang lainnya. Gambaran perseteruan di media sosial tidak bisa menjadi gambaran kehidupan di dunia nyata. Begitu juga sebaliknya. Tapi, alam pergaulan media sosial juga tidak bisa ditinggalkan. Mas Haryanto yang bergiat di Komunitas Omah Harapan Demak (KOHD) menceritakan pengamalannya mengenai keguyuban masyarakat Demak di media sosial. Lewat komunitas yang beliau dirikan, komentar-komentar tidak simpatik banyak tapi juga yang menunjukkan rasa peduli juga. Dari grup di media sosial yang bisa dijalankan dengan baik. Masyarakat Demak yang aktif di media sosial bisa mengabarkan seorang nenek yang tinggal sendirian di rumah yang hampir roboh, dan dari kabar itu muncul simpati warga yang datang membantu. Media sosial bisa menjembati informasi yang datang dari wilayah yang berbeda tersampaikan secara cepat. Masyarakat Demak sudah bisa menjalankan fungsinya dalam keguyuban di dunia maya. Meskipun keguyuban itu tidak bisa sama persis dengan keguyuban di alam nyata.
Kata Gus Aniq,”guyub di dunia nyata dan maya berbeda secara ruh.” Paguyuban di dunia nyata tak luput dari pengaruh dunia maya. Mereka berkumpul tapi setiap orang malah lebih sibuk dengan ponselnya ketimbang orang di sampingnya. Lebih jauh lagi Gus Aniq mengatakan,”paguyuban sudah menjadi komoditas yang menggradasi nilai-nilai.” Secara sederhanya “ciri-ciri guyub itu ada jami’ah dan jama’ah.” Anda pilih guyub seperti jami’ah atau jama’ah. Jami’ah itu guyub yang dialami oleh orang-orang yang memiliki ajaran tertentu. Seperti perkumpulan yang menamakan jami’ah. Tetapi, kalau jama’ah. Terminologi ini menurunkan kata jumu’ah. Kita bisa menyebutnya jumatan. Salat jumat. “orang-orang zaman dulu kalau menyebut salat jumat itu jumu’ahan. Salat jumat sebenarnya bisa diartikan sebagai keguyuban para jamaah. Dan, masjid menjadi tempat keguyuban para jamaah.”
Dalam pengertian lain pak Nadhif mengatakan,”ciri-ciri guyub itu spontanitas. Orang membantu tidak perlu diminta atau diperintah. Rasa ikatan batin yang menggerakkan mereka langsung membantu ketika ada panggilan bantuan. Mereka langsung tanggap memberi bantuan yang dibutuhkan tetangga atau saudara. Tanpa diperintah. Tanpa pamrih.”
Zaman terus melaju tapi keguyuban tidak boleh pudar. Majelis Maiyah Kalijagan berusaha menjadi ruang pertemuan yang menyajikan keguyuban antar jamaah. Malam itu keguyuban yang terjadi di depan kantor MUI Demak. Hujan menitipkan hawa dingin tapi keguyuban memberi suasana hangat. Malam melewati jam dua belas malam. Satu tahun Maiyah Kalijagan dirayakan dengan keguyuban antar jamaah yang datang dari pelbagai kota, profesi, dan organisasi. Malam itu kita menyadari kebersamaan itu mahal harganya. Maka, jangan dirusak dengan cara-cara yang murahan.
Sebagaimana yang dikatakan Kang Ahyar dalam mukadimah yang ditulis: “Sudah menjadi keniscayaan bahwa perbedaan itu fitrah. Secara tegas Allah berfirman dalam QS Al-Hujarat(49):13 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [Yunan Setiawan]