Semenjak Kalijagan berpindah di pelataran Masjid Agung Demak, Allah selalu menurunkan malaikat langit yang bernama hujan. Bulan Januari, Kalijagan baru memulai majlis disaat hujan purna membasahi pelataran masjid. Bulan Februari, hujan turun ketika indal qiyam dilantunkan para jamaah. Hujannya “mak bres” menyapa para jamaah dengan volume yang banyak. Hingga akhirnya kami berpindah ke serambi MUI. Sementara di bulan ini, Maret, hujan sedikit telat menyapa kami. Tepatnya ketika usai saya belajar menyampaikan prolog, “mak bres” itu turun. Meski sebelumnya tanda rintik-rintik sudah menyapa jamaah semua.
Selain hujan, Allah juga mengirimkan para kekasih yang tidak bisa kita duga kehadirannya. Sebab mereka tidak pernah berkomunikasi secara fisik dengan jamaah maupun penggiat. Mereka juga tidak memiliki gadget untuk membuka facebook, instagram, twitter, web dan jejaring lainnya untuk tahu kabar digelarnya tikar Kalijagan. Lalu dari mana mereka tahu kami sedang melingkar, menggelar tikar dan keikhlasan? Dari akun facebooknya Sunan Kalijaga kah? Akun twitternya Raden Fatah kah? Akun instagramnya Mpu Supo kah? Atau situs web milik Sultan Trenggono? Wa’Allahu ‘Alam, kita belum memiliki teknologi untuk menjangkau kebenaran mereka melingkar dikabarkan siapa-siapa kecuali dari Allah sendiri yang mengutus mereka menemani kami.
Mereka, para kekasih Allah bergantian menemani kami tiap bulannya. Bulan Januari, saat kami membicarakan “Agama, Ageman, Gaman”, Allah mengutus Edy untuk menemani kami. Beberapa jamaah maiyah sudah tahu dan kenal Edy. Pertama kali kami bersentuhan dengan Edy, ketika “Sinau Bareng Cak Nun & Kiai Kanjeng” 24 Maret 2014. Saat itu ia hampir diusir oleh panitia, namun Mbah Nun, malah memberikannya ruang baginya (selebihnya bisa baca: Maiyah, Edy dan Pendidikan Kita). Begitu pun ketika Mbah Nun beserta pak dhe-pak dhe Kiai Kanjeng hadir ke Demak lagi, Desember 2017, Edy juga muncul.
Bulan Januari, saat gus Ali Mashar menyampaikan ilmu dan informasi yang beliau miliki, Edy tiba-tiba datang menyalami kami satu per satu sembari tertawa dan sedikit senyum. Lalu, Ia duduk di samping gus Ali. Di tengah-tengah gus Ali berbicara, Edy meminta sholawat didendangkan. Dengan kesabaran, gus Ali menuruti permintaan Edy, berhenti berbicara, sholawat dilantunkan bersama rebana Tanbihun. Setelah itu, lama sekali Edy menemani kami, hingga ada momentum saat Ia meminta uang kepada salah satu jamaah yang duduk di depannya. Bukannya diterima, Edy malah membanting uang tersebut kepada jamaah itu sembari berujar “duit semen digawe opo!” dengan nada yang tinggi. Lalu ia meminta uang kepada gus Ali, dan diterimanya tanpa penolakan. Edy pun pamit untuk pergi melanjutkan pengembaraannya, yang entah kemana. Konon Ia sering ditemui di area makam Sunan Kalijaga. Ada yang mengetahui bahwa mas Agus, penggiat maiyah Gugur Gunung Ungaran, juga sempat memberi sedikit sangu untuk Edy, sebelum pergi.
Di bulan berikutnya, Februari, kami juga dibersamai kekasih Allah yang menyebut diri dengan nama “Maiyah”. Bapak Maiyah hadir saat kami sudah berpindah dari pelataran ke serambi, saat munajat Maiyah dibaca bersama. Beliau merapat ke saya, yang masih di pelataran, dari arah masjid Agung, meminjam korek api untuk menyalakan rokoknya. Cara meminjamnya pun tidak memakai komunikasi suara, namun gerak tangan seperti orang sedang menyalakan korek api, sementara tangan satunya memegang rokok yang sudah Ia pasang di mulut. Kemudian, tanpa berkata-kata, tanpa komunikasi suara, Ia ikut duduk membaur dengan jamaah. Satu-satunya kata yang beliau ucap adalah “Maiyah” saat saya tanya namanya. Pertanyaan lainnya, Ia kesusahan menjawab dalam bentuk suara. Dahsyatnya, Ia menemani kami sampai selesai pukul 01.30 dini hari, yang mengangkat tema “Serambi Paguyuban”.
Di bulan ini, Maret, yang mengangkat tema “Demakiyah: Sinau Miline Banyu”, Allah mengutus kekasihnya yang bisu. Sehingga kami tidak memiliki data mengenai namanya. Datangnya entah kapan, saya kurang tahu, karena waktu itu saya sedang kedinginan dan lebih memilih tempat di serambi, agar merasakan hangat dari uyel-uyelan. Setahu saya, Ia ada ketika Mas Joko Purnomo membagi kaos sedekah dari Kang Ipnu. Ia adalah salah satu orang yang mendapatkan kaos tersebut. Setelah mendapat kaos, Ia kembali ke pelataran merasakan hujan. Ia menemani kami hingga usai maiyahan. Yang membuat kami bahagia, saat sholawat didendangkan rebana Tanbihun, Ia joget-joget sendiri. Saat saya tahu, Ia berjoget di pelataran ketika Tanbihun memuncaki Kalijagan dengan nomor sholawat, saya berdiri menggandengnya untuk berjoget di tengah-tengah kami. Kang Hajir ikut menemani berjoget sembari tiga nomor sholawat didendangkan Tanbihun.
Lalu kekasih Allah yang mana lagi, yang akan ditugasi menemani kami di bulan depan? WaAllahu ‘Alam. Sebelum itu, Mbah Nun menitip pesan kepada jamaah maiyah Kalijagan “Untuk anak-anakku Kalijagan: Selamat mencari, menelusuri, menemukan, menghimpun, menyebarkan dan menyuburkan tetanaman Kalijagan di hari ini dan esok.”