Siang ini, mungkin siang-siang kemarin juga cuaca Demak mengalami derajat (dalam celcius) yang begitu tinggi. Saya mengatakan hal itu karena sebagai orang yang bekerja di jalan raya saya merasakan betul betapa sengatan matahari seolah berapa jengkal di dekat saya. Selain itu, aplikasi pengukur suhu di ponsel juga menunjukkan angka dalam rentang 36◦C hingga 40◦C. Mengapa bisa begitu panas suhu bumi—khususnya kota— kita?
Diantara sedulur-sedulur mungkin akan ada yang menjawab karena global warming yang melanda bumi. Efek rumah kaca yang semakin berjajar di sepanjang jalan kota. Efek asap knalpot yang semakin mengepul menyesakkan ruang-ruang bumi. Efek elektronik semisal pendingin ruangan, kulkas, mesin cuci dan lainnya yang menghuni setiap rumah. Efek tanaman yang sekian lama, sekian hilang, ditebang, diganti tiang lampu dan batu bata kios, ruko, apartement, mall dan bangunan pengais ekonomi global.
Mungkin saja hal itu benar adanya, namun mestinya kita memiliki kemungkinan-kemungkinan lainnya. Sebab dahulu waktu kecil, saat elektronik belum menjamur, rumah kaca tidak ada, kendaraan masih bisa dihitung jari, dan pepohonan yang rimbun di setiap sudut ruang desa. Toh nyatanya desa saya juga panas, tapi mungkin tak sepanas sekarang. Berarti kemungkinan lainnya adalah karena Demak adalah wilayah yang berada di garis pantai. Dimana pengaruh tekanan atmosfer dan rentang jarak dengan inti bumi yang menjadikan pesisir terasa panas dan pegunungan terasa sejuk.
Anehnya pikiran saya saat ini tidak berada pada kemungkinan-kemungkinan tersebut. Melainkan ada hal lain di luar pengetahuan yang material, yakni pengetahuan yang lebih mendalam dan mendasar, pengetahuan yang lebih ilmu, pengetahuan yang lebih subtansial dan esensial. Jadi yang saya pikirkan mengapa suhu kota kita terasa panas lantaran di siang ini, jiwa-jiwa manusia pada puncak-puncaknya ketinggian dalam mengaktifkan egoisme pribadinya. Ego untuk kaya sendiri, ego untuk menjatuhkan lawan bisnisnya, ego untuk mengelabui mitra kerjanya agar keuntungan materi didapatkannya secara lebih.
Semua manusia berangkat kerja pagi untuk mengejar angannya masing-masing. Sementara angan di kepala ada iblis—yakni nafsumu yang tak mampu engkau kalahkan— membangun istana. Sementara di dada, iblis memompa anganmu agar lebih tinggi, lebih naik dan semakin semu. Lalu pulang di sore hari dengan sedikit kesejukan. Maka tak mengherankan suasana panas akan seketika lenyap ketika senja datang. Sementara di siang hari adalah puncak dari nafsu berkuasa atas kita. Antara kelelahan bekerja, kelelahan mengejar angan dan kelelahan menahan diri. Hingga akhirnya alam terpengaruh oleh keadaan kita.
Konon katanya alam mengikuti iklim jiwa manusia. Jika jiwa manusia teduh, maka teduhlah segala yang berada di sekitarnya, begitu pun sebaliknya. Hal itu merujuk pada teori manusia sebagai jagad alit, dan semesta sebagai jagad ageng. Saya merasakan betul iklim tersebut ketika tiap siang, ndelalah pas ingat, mampir ke masjid terdekat untuk sholat dhuhur. Saya selalu bertanya “dimana pendingin ruangannya? Kok bisa sejuk begini”. Saya cari-cari tidak ketemu pendingin berupa kipas maupun AC. Tapi saya menemukan pendingin di dalam jiwa manusia yang masuk ke dalam masjid. Mereka ke masjid membawa kepasrahan, membawa kerelaan, membawa kesejukan yang tidak disertai nafsu.