Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Wage, 4 Mei 2018/ 18 Sya’ban 1439 | Menang Tanpa Ngasorake | bagian kedua
Semenjak 2018, Kalijagan memakai konsep sinau dengan menyediakan sumber mata air, untuk memantik para JM agar mau bersuara, bercerita maupun bertanya. Namun malam itu tidak ada orang yang diposisikan sebagai mata air, yang biasanya ada Mas Nadhif Alawy, Gus Ali Mashar, Om Budi Maryono, dan mata air lainnya sedang ada halangan untuk hadir. Kang Hajir sendiri yang dalam keadaan darurat bersedia menjadi sumber mata air, malam itu blank, karena sedikit terkuras tenaganya menggelar klasa malam itu. Meski begitu, beliau tetap akan membersamai jalannya sinau. Beliau akan belajar secara mengalir dengan dulur-dulur JM lainnya. Sehingga malam itu, kang Ahyar menyerahkan kepada para JM untuk menyumberi sendiri ilmu-ilmu yang akan dikaji dan diajeni bareng. Konsep tersebut yang dipakai Kalijagan ketika masih berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain dan ketika di Kafe Angkasa, sepanjang 2017.
Namun harapan kang Ahyar tidak disambut antusias dari para jamaah. Alias para JM malu-malu kucing, atau malah JM memang menerapkan nilai tawadlu’ tidak hanya dalam pikiran dan wacana saja. Hingga akhirnya kang Ahyar meminta Syechjend Kalijagan, Mas Joko untuk sedikit memberi pengantar agar dulur-dulur mau bersuara, bercerita, membagi pengalamannya, khususnya mengenai tema: menang tanpa ngasorake. Mas Joko sendiri jarang terlihat di depan, meski definisi di depan itu tergantung sudut pandang, cara pandang dan presisinya dari mana dulu, karena selama ini beliau hanya menyembunyikan diri dengan membaur bersama para JM dan membantu kang Yusuf, kang Uki meracik kopi bagi para dulur-dulur. Malam itu, alhamdulillah beliau berkenan maju, namun tidak untuk bertutur kata, melainkan hanya mengajak para JM bersholawat.
Setelah itu, mas Hasan, dosen Unisfat, yang awalnya hanya duduk bersama JM lainnya dipersilahkan kang Ahyar untuk muruki, ngandani, nyiprati ilmu kepada dulur-dulur JM. Mewakili seluruh pengurus dan dosen Unisfat, beliau menghaturkan terimakasih kepada dulur-dulur Kalijagan dan para JM yang mempercayakan keamanan ruang sinau Maiyah di halaman Unisfat. Sebab saling mengamankan satu sama lain adalah dasar dari seorang mukmin. Maka untuk mempelajari kemenangan harus dibutuhkan kekalahan. Sementara kita di Maiyah, di Kalijagan, tidak ada menang, tidak ada kalah. Yang ada menang atas dirinya sendiri dan kalah dengan nafsunya sendiri. Kemungkinannya hanya dua itu, bagi seorang mukmin yang paham suatu hal yang mendasar tersebut.
Sementara dalam surat al ‘Asr yang dikutip Kang Hajir, bahwa mereka yang menang adalah manusia yang beriman, beramal sholeh, menjalankan kebenaran dan kesabaran. Artinya ada dua kemenangan yang diperoleh manusia, yakni kemenangan yang mulia dan yang tidak mulia. Menang yang tidak mulia itu bagaimana? Menang dengan cara-cara yang tidak baik, dengan langkah yang dilarang oleh Allah, itulah menang yang tidak mulia. Padahal mestinya, kemenangan itu tidak berhenti pada itu saja, tidak berhenti pada dunia saja. Sebab kemenangan sejati itu menang dunia dan akhirat.
Setelah mas Hasan dan Kang Hajir memberi pengatar, kang Ahyar sedikit memantik para JM dengan menceritakan kisah Fathul Makkah, pembebasan Makkah. Bahwa yang semestinya waktu Fathul Makkah rombongan Kanjeng Nabi bisa membabat habis penduduk Makkah yang mengusirnya sebelum hijrah, namun Kanjeng Nabi melarang para sahabat melakukan pembantaian, perampasan dan penjajahan kepada penduduk Makkah. Kanjeng nabi malah menyebutnya sebagai yaumil marhamah, hari kasih sayang. Agar para sahabat memaafkan dan menyayangj penduduk Makkah. Sebagaimana Maiyah ini yang terusir dari Indonesia. Misalkan nanti Allah mengijabahi Fathul Indonesia bagi Maiyah, maka sikap kita mestinya sebagaimana Nabi Muhammad yang memaafkan dan menyayangi orang yang dahulunya mengusir beliau.
Kang Ahyar kemudian mempersilahkan kembali respon dari dulur-dulur JM untuk nyinauni menang tanpa ngasorake lebih mendalam, sebab waktu semakin malam dan dingin. Harapannya, agar dinginnya malam sirna oleh kemesraan dan kebersamaan para JM dengan respon yang menggempur dinding kebodohan peradaban. Apakah para JM masih malu-malu kucing, belum terpantik oleh pengantar-pengantar atau memang tawadlu’ sudah membumi dalam diri mereka? [HBA/Redaksi Kalijagan.com]