Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Ahad Wage, 19 Ramadlan 1439/ 3 Juni 2018 | Sinau Nulis: Kelas Esai
Esai banyak bentuknya. Setiap penulis esai memiliki cirinya masing-masing sesuai dengan latar belakang, pengalaman, dan pergaulan. Kita bisa mempelajarinya dengan cara membacanya terlebih dahulu. Acara Sinau Nulis yang diselenggarakan di markas Tanbihun, desa Bomo, Wonosalam, Demak oleh Kalijagan dan Tanbihun pada malam itu (3/5) terjadwal Kelas Esai. Pertemuan sebelumnya adalah Kelas Puisi, sedangkan setelahnya adalah Kelas Reportase dan Bedah Buku “Cahaya Maha Cahaya” karya Emha Ainun Nadjib.
Menulis pada hakikatnya bercerita, dan menulis esai bisa juga disebut memaknai cerita, mengilmui peristiwa. Menurut mas Yunan Setiawan pembicara pada malam hari itu, belajar dari esai-esai Mbah Nun bahwa esai Mbah Nun adalah peristiwa-peristiwa yang dia hadapi kemudian dimasukkan dalam hati dan dalam akal, keluarlah sebuah esai.
Setiap orang memiliki pengalaman, baik pengalaman yang berat maupun pengalaman yang menyenangkan. Menurut Kang Hajir, dalam esai kita bisa memulai dari peristiwa atau sebuah cerita kemudian kita cari hikmah dalam peristiwa tersebut, kita cari ilmu dari cerita itu atau sebaliknya. Kita punya ilmu yang ingin kita sampaikan kemudian kita cari peristiwanya.
Satu esai karya Mbah Nun berjudul “Slilit Sang Kiai” dibaca pada malam hari itu kemudian didiskusikan. Ada cerita seorang kiai yang saleh meninggal dunia. Dia menyampaikan sesuatu kepada santrinya melalui mimpi. Katanya, segala amalnya sudah dihitung dan beres tinggal satu masalah. Masalahnya berlangsung sehabis acara kenduren, ada daging menyelip di sela-sela gigi. Sang kiai berusaha mengeluarkannya. Ia mengambil daging itu menggunakan carang kecil yang dia ambil dari pohon tetangganya. Carang kecil inilah yang menjadi masalah sehingga penghitungan amal sang kiai tidak kunjung beres. Sang kiai melalui mimpi mengabarkan kepada santrinya: bilang ke tetangganya untuk menghalalkan.
Apa yang ingin disampaikan Mbah Nun? Jika carang kecil saja menjadi masalah, bagaimana dengan pencurian pohon yang besar-besar atas hutan kita oleh para oknum? Rupanya itu yang ingin disampaikan Mbah Nun, ada nilau yang terselip di balik cerita. Mengkritik tanpa menyakiti yang dikritik.
Pembelajaran esai pada malam itu tidak sebatas teori. Peserta juga praktik. Praktik dimulai dari bercerita secara lisan terlebih dahulu. Ada yang bercerita tentang sound sistem, ada yang bercerita tentang rokok, ada yang bercerita tentang tanaman. Mereka kemudian mencoba diskusi tentang cerita-cerita itu. “Waktu saya pulang ke kampung ini pertama kali, saya membawa rokok jenis tertentu, ternyata orang sini tidak ada yang menyentuh rokok saya. Mereka mungkin mengangggap rokok saya murah padahal lebih mahal dari rokok mereka. Setelah mereka tahu ternyata rokok saya lebih mahal dan lebih enak mereka baru mau mengambil. Maknanya apa, orang yang tidak tahu cenderung mengambil keputusan yang salah.” Cerita salah seorang peserta.
Sesi cerita usai dilanjutkan sesi menulis. Peserta diberi waktu selama 30 menit. Menulis tidak segampang bercerita lisan. Orang bisa saja bercerita panjang lebar tetapi macet saat di depan kertas, di depan mesin pengolah kata. Dan itu terjadi.
Tahap menulis selesai. Dengam malu-malu dan sedikit paksaan para peserta yang terdiri atas pemuda Tanbihun dan jamaah Kalijagan membacakan karyanya. “Anggap saja karya Anda buruk agar Anda kehilangan malu untuk membagikannya.” kata mas Yunan.
Karya-karya dibacakan mas Yunan dan Kang Hajir memberi masukan di sana-sini. Menulis memang butuh proses tidak bisa sekali jadi – yang penting memulai. Beberapa waktu yang akan datang, kita akan menikmati tulisan dari para peserta Sinau Nulis di web Tanbihun atau Kalijagan.com. Tunggulah dengan sabar. [Redaksi Kalijagan.com]