Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Pahing, 6 Juli 2018/ 22 Syawwal 1439 | Budi Taruna, Taruna Wijaya
Kalijagan bulan Juli kembali digelar di Universitas Sultan Fatah dengan tema sinau “Budi Taruna, Taruna Wijaya”, pada hari Jum’at pertama (6/7). Sebuah tema yang langsung mengenai sasaran, yakni mayoritasnya jannatul maiyah(JM) seorang taruna, pemuda. Bagaimana budi yang dilaku JM tetap kokoh dalam kebaikan dengan banyaknya pergeseran nilai? Sebagaimana yang dirisaukan Mas Zaenal Mubaroq pada sesi kedua bahwa “sekarang budaya hormat kepada guru sudah mulai berkurang. Apakah ini (budaya hormat murid pada guru) akan berjalan terus atau malah semakin kikis dan hilang. Sebagaimana tema bahwa pemuda yang baik yang akan membawa kejayaan.” Tuturnya.
Sebelumnya, Kalijagan dimulai dengan Munajat Maiyah yang dipimpin Kang Ziyaul Haq dan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama. Selanjutnya sesi pertama, diisi oleh Kang Muhajir Arrosyid, menyampaikan mukaddimah tema. Lalu Kang Ahyar dan Kang Hasan sedikit memberi pengantar sesi diskusi sebelum memoderatori seluruh rangkaian Kalijagan yang berakhir hingga pukul 01.00 di hari berikutnya.
Pada jam 21.00, Rebana Tanbihun menyajikan satu nomor sebagai ruang pengendapan ilmu JM Kalijagan sebelum penghijrahan sesi yang lebih mendalam. Yakni sesi kedua, yang dimulai Mas Hasanain Haikal, dosen IAIN Kudus. Beliau memulai pemaparannya dengan menyinggung pemuda yang menggunakan ilmu pengetahuan dan informasi. “Sebisa mungkin harus tahu peta. Yakni memakai peta ilmu pengetahuan maupun peta pembawa ilmu pengetahuan.” paparnya. Artinya tidak asal-asalan dalam menerima informasi, tidak menerima ilmu pengetahuan tanpa didasari pengetahuan secara jelas sumbernya. Bahkan sebisa mungkin mengetahui mata rantai hingga pada sumber dan akarnya. Itulah pemetaan yang mesti dipahami pemuda saat ini yang dibenturkan dengan kemudahan informasi dan ilmu pengetahuan di dunia maya, yang tak bertanggung jawab pada kemurnian dan kejelasan pembawanya.
Mas Hasanain Haikal menjelaskan secara rinci bagaimana pentingnya JM Kalijagan berguru. Apalagi guru kita, Mbah Nun, seseorang yang jelas mata rantai ilmu, sumber pengetahuan dan akar informasinya. Hanya saja, Mbah Nun menyimpannya rapat sebagai dapur hidupnya. Karena yang perlu disuguhkan manusia kepada lainnya adalah makanan kebaikan serta nuansa keindahan. Selanjutnya, Mas Zaenal Mubaroq—ketua Karang Taruna Demak, Mas Nadhif Alawy—budayawan Demak yang selalu menemani Kalijagan, dan Kang War—dosen Universitas Negeri Semarang, dipersilahkan Kang Ahyar menaburkan ilmu, pengetahuan dan informasi yang mereka punya kepada JM Kalijagan.
Ada yang menarik setelah semua pengisi diskusi menyampaikan ilmu, pengetahuan dan informasinya. Yakni kedatangan seorang wanita dan seorang pria yang membawa kue ulang tahun dari jalan raya masuk ke ruang majlis. Siapa yang ulang tahun? Tentu hal itu menarik perhatian seluruh JM yang hadir pada malam itu. Sebab bisa mungkin, para JM, tidak terbiasa dengan kehadiran kue ulang tahun di momentum peringatan kelahirannya. Meski begitu, peristiwa itu disambut bahagia para JM Kalijagan. Ternyata yang ulang tahun adalah salah satu pengisi diskusi, Mas Zaenal Mubaroq. Rebana Tanbihun tanpa diaba mendendangkan alat musiknya disertai nyanyian “selamat ulang tahun kami ucapkan….” dari semua JM yang hadir.
Peristiwa tersebut menjadi tanda yang berkesinambungan dengan apa yang dikatakan Mas Nadhif Alawy sebelumnya. “Manusia secara umum disuruh untuk menjadi Khalifah Allah. Maka pergantian generasi itu kepastian. Bila anda sadar akan pergantian itu berarti anda sudah mulai berganti. Sejarah tak akan berubah bila arusnya sama, harus berbeda. Karena secara biologis, kita menurun (dari) orang tua, tetapi secara ideologis belum tentu.” Begitu yang disampaikan Mas Nadhif. Bisa berarti JM yang hadir, yang rata-rata pemuda Demak, dalam tempo yang tidak lama akan meneruskan Mas Zaenal Mubaroq, dalam kepengurusan Karang Taruna, yang telah tertandai semakin tuanya usia beliau. Maka bersiaplah.
Namun, sebelum taruna-taruna JM menjadi khalifah, Kang War mengingatkan bahwa khalifah itu manusia yang sudah sampai pada kesadaran yang kamil (sempurna). Siapa yang sudah merasa dirinya sempurna? Tentu, taruna yang berbudi tidak akan sampai mengucapkan demikian—bahkan merasa saja tidak akan. Mungkin saja kesadaran yang kamil itu adalah kesadaran tidak memiliki keinginan menjadi khalifah, merasa dirinya tidak mampu menjadi apa-apa dalam strata masyarakat, namun dalam kesehariannya, lelakunya memuat kebaikan kepada yang lainnya, dan mencintai sekelilingnya. Soal jadi atau tidak jadinya khalifah di lingkungannya, setidaknya ia telah menjadi khalifah bagi dirinya sendiri.
Selanjutnya, sesi tanya jawab dibuka Kang Ahyar. Ada tiga penanya yang menghaturkan beberapa pertanyaan. Pengisi diskusi bergantian menjawab pertanyaan. Hingga tanpa dirasa, hari sudah berganti, jam menunjukkan pukul 00.30. Maiyah Kalijagan malam itu dipuncaki kolaborasi yang dipersembahkan Mas Yanto, Rhoma Iramanya Kalijagan dengan salah satu penggiat Gambang Syafaat yang hadir malam itu. Mereka mempersembahkan dua nomor, yang meresapkan ilmu, pengetahuan dan informasi ke dalam jiwa JM Kalijagan untuk menjadi laku hidup yang kesemuanya lillah, atas tujuan akhirat. Mereka menciptakan kegembiraan JM Kalijagan, seolah ada rindu yang hadir tanpa ada pertemuan sebelumnya. Itu pertama kalinya Mas Yanto menyanyikan puisinya dengan iringan alat musik. Sebuah kejutan lain di Kalijagan malam itu.
Kejutan lainnya yang membuat saya merasakan bahwa saat inilah momentum pergantian generasi, ruang peralihan zaman—khususnya di lingkungan Kalijagan dan Kabupaten Demak. Adalah kehadiran anak kecil yang usianya dibawah 3 tahun. Untuk pertama kali ada balita mengikuti Maiyah Kalijagan. Anehnya ia betah dan tenang dipangku ibunya mengikuti dari awal hingga selesai. Semoga ia, ibu dan keluarganya selalu bersama dengan Allah, Maiyyatullah. Semoga kelak, ia menjadi Khalifah bagi Tanah Airnya.
Dinginnya suhu bumi dihangatkan suasana yang dihadirkan Allah di Maiyah Kalijagan malam itu. Sebelum do’a penutup yang dipimpin Mas Nadhif Alawy, semua jamaah berdiri, asroqolan. Menutup dengan haturan rindu dari umat yang tak pernah bermuwajjahah langsung dengan sang Nabi, sang Rasul, sang Kekasih pujaannya. Setelah do’a, musafahah menjadi budaya persambungan rohani yang tidak boleh ketinggalan. Terakhir, sebelum kami pulang ke rumah masing-masing, ada sedekah nasi bungkus dari Mas Jaka dan Mas Santo. Lengkaplah kenikmatan malam itu, kenyang perut, kenyang pikir dan kenyang jiwa. Akhirnya sebelum pulang sudah kenyang. [HBA/Redaksi Kalijagan.com]