Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Kliwon, 12 Oktober 2018/ 3 Shaffar 1440 | Sedekah Tatal | bagian pertama
Sewaktu saya sampai melingkar dengan Jamaah Kalijagan, Kang Joko Purnomo sedang melantunkan lagu ‘Ayah’ diiringi Dannu Sakkonco. Saya datang agak larut malam, namun sebenarnya itu bukanlah suatu keterlambatan bagi jamaah Maiyah untuk melingkar nyedulur, sinau bareng dan nyadong cinta Allah dan Muhammad, kekasihNya. Lalu tepuk tangan menggema, memenuhi parkiran bagian dalam Unisfat, sesaat Kang Joko menyelesaikan lagunya.
Begitulah kadang, Allah memberikan ilmu dan pemahaman yang berbeda satu jamaah dengan jamaah lainnya. Sebelumnya, kebetulan saya sedang membantu dan menemani Ayah menyelesaikan urusan rumah dan barangkali melingkar di maiyahan malam itu adalah suatu tepuk tangan syukur dan kegembiraan yang ditunaikan Allah langsung. Kebetulan pula tema malam itu adalah sedekah, dan sedekah hanya berlaku tatkala urusan pokoknya terlaksana.
Sebelum Kang Joko dan Dannu Sakkonco bersedekah kegembiraan suara dan nada, saya tidak tahu persisnya apa dan bagaimana. Barangkali, Kang Hajir, Kang Hasan bersedekah pengetahuan dan ilmu yang beliau miliki. Kang Yaqin, Kang Maftukh, Kang Yusuf dan lainnya bersedekah tenaga dan keahliannya dalam menata panggung, masak kopi, riwa-riwi nggelar berlangsungnya Kalijagan. Kang Ahyar, Mas Yanto mungkin saja bersedekah mengisi munajatan.
Tentunya, saya yakin semuanya saling bahu membahu, sebagaimana tatal yang mensedekahkan diri menjadi satu tiang yang diikat oleh persaudaraan dan kemesraan. Barangkali kesadaran ituah yang menjadikan tema ‘Sedekah Tatal’ menjadi sinau bareng malam itu. Sementara itu, yang bisa saya sedekahkan adalah mencatat apa yang saya terima malam itu, tanpa harus kepo apa yang terjadi sebelumnya dan saya syukuri atas apa yang saya terima.
Seusainya Kang Joko dan Dannu Sakkonco, Mas Aan meminta sedikit waktu untuk memutarkan sebuah pidato dari Bung Karno. Yang diputar dari gadjetnya dan dibantu dengan mikrophon saja. Suaranya samar-samar terdengar, apalagi keberadaan saya yang di bagian belakang, lumayan jauh dari sound system. Meski begitu, applause tepuk tangan tetap menggema. Siapa saja di maiyahan akan tetap mendapatkan tempat dan penghargaan, apalagi kalau itu niatnya sedekah, tentu memiliki ruang tersendiri. Tepuk tangan bagi jamaah Kalijagan menjadi tradisi untuk menghormati siapa saja yang berkenan bersedekah mengisi waktu yang berlangsung.
Sementara itu, Mas Yanto di penghujung malam, mensedekahkah suaranya. Bersyair dalam bahasa jawa. Mas Yanto merupakan ikonik Kalijagan dalam bersyair. Syair-syair yang disajikan tiap bulannya merupakan representasi kultural masyarakat Demak dan sekitarnya. Bahasa-bahasa yang digunakan adalah bahasa komunikatif, tanpa membuka kamus bahasa, masyarakat sudah mampu menerimanya. Apalagi malam itu, ia menggunakan bahasa Jawa. Bahasa sejatinya kita. Bahwa kita orang Jawa tentu harus bangga dengan bahasa jawa.
Kehadiran semua pensedekah malam itu menjadi suatu penegasan bahwa tatal adalah simbol kultur yang disampaikan Sunan Kalijaga dalam mendirikan Masjid Agung Demak. Dalam membuat satu tiang, mestinya ada tatal-tatal, meski ukuran dan bentuknya berbeda, namun harus berkenan untuk diikat menjadi satu tiang persaudaraan dan kehidupan bersama. Untuk berdirinya suatu tujuan bersama. [Ajib Zakaria/ HBA – Redaksi Kalijagan.com]