Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Kliwon, 12 Oktober 2018/ 3 Shaffar 1440 | Sedekah Tatal | bagian ketiga (terakhir)
Malam itu, Kalijagan sangat beruntung didatangi Om Budi Maryono, budayawan asal kota Semarang. Sebab mungkin, malam itu menjadi ruang jamaah untuk ngangsu kaweruh dari orang yang lebih sepuh. Biasanya yang saling membagi dan sinau bareng adalah orang-orang yang masih muda secara usia. Om Budi memulai dengan menceritakan kisah orong-orong yang disambung tatal oleh Sunan Kalijaga. Bahwa fungsi tatal selain sebagai penegas berdirinya Masjid Agung Demak adalah penyambung nyawa orong-orong. Hal itu bisa kita maknai bahwa makhluk yang bernyawa mestinya mempersambungkan hati dan akalnya agar tetap hidup.
Beliau juga menceritakan bahwa ide saka tatal sebenarnya inisiatif spontan Sunan Kalijaga ketika tahu pesanan jatinya tidak sampai. “Jadi, sesuatu yang terhalang, sesuatu yang tidak sampai, itu bisa melahirkan sesuatu lain yang lebih dahsyat.” tutur Om Budi, menarik makna syukur dalam dalam peristiwa saka tatal. Selain itu, banyak kisah-kisah wali, dongeng, juga kisahnya sendiri dan temannya yang beliau paparkan.
Perlahan om Budi mengurai cara berpikir kita yang paling mendasar, mengingat banyak diantara kita yang terputar balik cara memahami suatu dogma maupun ajaran. Sebagaimana ketika Rasulallah menjalankan ibadah sholat, sebenarnya itu wujud syukur Rasulallah. Namun sebagian kita menganggapnya sebagai kewajiban yang teramat dipaksakan. Kalau dianggap paksaan, ya memang harus dipaksakan, sebab kita butuh dan harus bersyukur. “Karena apapun yang hidup di bumi dalam bentuk apapun sudah dijamin rezekinya. Jadi tinggal bersyukur, kok. Bersyukur itu ada wujudnya, sholat itu salah satunya.” lanjut Om Budi.
Sebelumnya, mengenai konsep syukur Mas Nadhif juga mengatakan bahwa kemampuan bersyukur itu nilai dari kesejahteraan manusia. “Setiap hari kita dicekoki ‘untuk masyarakat sejahtera’. Apakah ukuran sejahtera itu dengan uang? Tapi ada orang yang tidak punya uang saja bisa bahagia menerima.” sindir Mas Nadhif untuk orang-orang yang kurang tepat memahami sejahtera. Beliau juga menegaskan bahwa puncak kesejahteraan manusia mestinya disejajarkan lagi dengan tujuan manusia diciptakan, yakni ‘abd, mengabdi, menyembah.
Kembali kepada Om Budi, yang memuncaki maiyahan malam itu. Uraian-uraian beliau selalu diselingi dengan joke-joke, baik secara satir maupun gamblang. Suasana semacam itulah yang selalu dibangun dan ditegakkan dalam maiyahan, agar kemesraan dan kebersamaan selalu dirasakan jamaah. Ritme yang disampaikan Om Budi membawa jamaah tak bosan beranjak dari tempat duduknya. Dari serius, tiba-tiba santai, dari santai menjadi serius sampai beliau mengakhiri dengan salam. Hal itu yang membuat jamaah selain belajar syukur, juga merasakan syukur secara kaffah. Barangkali, jamaah merasa kehadiran Om Budi mewakili ruh dari Mbah Nun, imajinasi atas rindu jamaah kepada Mbah Nun.
Uraiannya menyinggung sampai soal pengemis yang datang. Kita pasti sering merasa terganggu. Ngaku saja lah. “Padahal mereka itu sebenarnya memberi, memberikan kita kesempatan untuk menitipkan sebagian harta untuk diambil nanti.” papar Om Budi sembari dilanjutkan tawanya dan tawa jamaah. Setelah itu, beliau juga menanggapi persoalan yang dipaparkan mas Erdi sebelumnya mengenai entekno. “Opo-opo seng dianggep kuwi berarti dudu seng sak mestine” kata Om Budi dengan rona wajah yang serius.
Terakhir, sebelum usai ditutup dengan indal qiyam dan do’a, Om Budi mengajak jamaah untuk mengingat kembali nilai-nilai maiyah yang sering Mbah Nun sampaikan, khususnya tandur, sedekah, juga puasa. Segalanya harus dilandasi dengan ikhlas. “Yang berat adalah berpuasa sesaat musim tidak puasa. Jangan sampai kita sibuk berbuka, sampai kita lupa puasa.” tutupnya seraya meletakkan mikropon. Bersyukurlah kita punya maiyah, kita punya Kalijagan. [Ajib Zakaria/ Redaksi Kalijagan.com]