Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Legi, 2 November 2018/ 24 Shaffar 1440 | Sing Sareh, Saleh! | bagian kedua
“Sabar, sareh, sumeleh. Ada kesabaran, ketenangan untuk menahan amarah.” kata Gus Haikal mengawali sesi diskusi. Kemudian beliau bercerita mengenai kisah Sahabat Abu Bakar ketika dimarahi seorang Badui.
Ada orang Arab Badui yang datang marah-marah kepada Sahabat Abu Bakar. Sampai bolak-balik tiga kali, karena beliau dianggap mendzalimi orang Badui. Sementara itu, Rasulullah hanya senyum-senyum saja ketika melihat peristiwa itu. Setelah ketiga kalinya dimarahi, Abu Bakar sedikit terpancing. Beliau pun meladeni apa yang dikatakan orang Badui. Tiba-tiba Rasulullah pergi meninggalkan Abu Bakar ketika dia membela diri atas kemarahan Si Badui.
Penasaran atas hal itu, Abu Bakar mendatangi kediaman Rasulullah. Beliau menanyakan kepergian Rasulullah yang sebelumnya senyum-senyum saja melihat Abu Bakar yang diam ketika dimarahi orang Badui, dan pergi tatkala meladeni dan membela diri atas tuntutan pendzaliman yang dialamatkan pada Abu Bakar. Apa jawaban Rasulullah? “Ketika Abu bakar memilih tenang saat dimarahi, para malaikat turun dan mulai mengelilingi Abu Bakar. Sementara ketika Abu Bakar meladeni amarah orang Badui, satu per satu malaikat pergi, bergantian dengan Iblis yang mengerumuninya.” tutur Gus Haikal menceritakan kisah Abu Bakar dengan seorang Arab Badui.
Dari kisah itu, Gus Haikal mengajak Jamaah Maiyah mengurai bagaimana menghadapi sesuatu yang sesuai dengan kapasitas dan momentum yang pas. Sebagaimana bersikap reaksioner (orang yang merespon) akan berpengaruh terhadap keputusan apa yang akan diambil. Reaksioner itu tidak dengan ilmu namun sangat cepat menanggapi sesuatu tanpa pertimbangan dan perhitungan. “Reaksioner itu reaktif yang kurang bagus.” katanya melanjutkan.
Beliau juga menyinggung bagaimana orang-orang Irak dimobilisasi lewat sosmed untuk menggulingkan kekuasaan. Sehingga tak heran jika sekarang banyak yang melarang sosmed. Sebab lebih banyak mudharatnya, ketimbang manfaatnya. Jadi tak heran, jika sikap Mbah Nun, semenjak reformasi 1998, lebih memilih ‘sareh’ dari peradaban televisi, sosmed dan sebangsanya. Bisa jadi begitu.
“Padahal masalah sebenarnya tidak terlalu besar, dibesar-besarkan cuma gara-gara sosmed.” lanjut Gus Haikal. Beliau juga mengatakan sesuatu yang terkadang ia pikir-pikir sendiri bahwa sesuatu yang menjadi viral, kemungkinan besarnya bukan kerjaan anak-anak. Bisa jadi ada tangan-tangan yang memviralkan itu, dengan tujuan tertentu. Sesuai dengan apa yang ia mau, baik atau buruk.
Sebelum memungkasi bertutur, beliau menyinggung soal marah. Bahwasanya marah juga perlu. Marah itu manusiawi. Terkadang orang marah tidak mengontrol kemarahannya, tidak menyadari bahwa sesuatu itu sebenarnya datang dari Allah. Segala sesuatunya, marah dengan siapa, dalam keadaan apa, kondisi apa, dengan apapun itu, datangnya dari Allah. Ketika manusia sudah mengetahui segala sesuatu dan situasi itu datang dari Allah, ia akan mencari hikmah.
“Rasulullah pernah marah. Namun marahnya bukan karena diri beliau. Dan marahnya Rasulullah tetap mengayomi.” pungkas Gus Haikal. Sebelumnya juga, beliau menyinggung unsur marah dan hasilnya, yang tentu kita sendiri yang harus memilih. Mencari hikmah atau melampiaskan dengan cara yang biadab. [Ajib/ Redaksi Kalijagan.com]