Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Legi, 2 November 2018/ 24 Shaffar 1440 | Sing Sareh, Saleh! | bagian keempat
Diskusi berlanjut kepada jama’ah yang hendak menyumbangkan paparannya. Yang pertama, adalah pria asal Bomo, Wonosalam yang bernama Ali Mutoha. Ia kembali mengaitkan dari pembahasan pembicara pertama dan kedua bahwa ‘sareh’ identik dengan sabar. Menurutnya, sabar kurang lebih menempati tiga posisi yang membetuk segitiga, yang akan membuat manusia menjadi ‘insan’ yang ‘kamil’ (sempurna). “Sabar tidak hanya menjadi kepasrahan kita, ketidakberdayaan kita, lalu kita sabar. Kalau sabar diartikan seperti itu, malah kita keluar dari realitas yang sebenarnya.” paparnya.
Ia menyitir bait dalam literatur Kiai Rifa’i. Ada tiga tingkatan. Pertama, dimana sabar untuk meninggalkan maksiat. Kedua, sabar melakukan perintah Allah. Ketiga, ‘Sobrun Billahi’, sabar mengenai Allah. Mengenai apa yang sudah menjadi kehendak-Nya. Ia mengajak bagaimana kita mentransformasi ketiga definisi sabarnya Kiai Rifa’i menjadi suatu gerakan sosial, yang mana gerakan itu diharapkan bisa sedikit membantu membentuk pola peradaban madinah di Demak.
Mengenai saleh, menurutnya kalau menjadi saleh cukup berdiam. Orang yang berdiam tidak ada salahnya. Orang yang tidak ada salahnya adalah orang saleh. Ia juga memaparkan adanya saleh itu tidak hanya ‘aslah’. Meski begitu, bagaimana pun juga perlu untuk memperbaiki orang di sekitar. Tidak hanya diri kita sendiri, tapi juga untuk orang lain. “Tapi ya kembali lagi, yang terpenting adalah diri sendiri terlebih dahulu.” pungkasnya.
“Kalau orang sabar panjang nafasnya, emosi akan mereda.” Kang Mamo juga ikut urun sinau bareng Maiyah Kalijagan bulan November. Ia membacakan sebuah karya dari Sunan Kalijaga yang dirasanya cocok disampaikan saat ini. Kemudian ia menambahi bahwa keadaan yang rumit itu terkadang ada yang perlu diselesaikan dan ada yang selesai dengan sendirinya. Tidak semuanya harus diselesaikan. Ada banyak persoalan yang posisinya tidak perlu diselesaikan, hanya perlu proses menunggu saja. “Jadi kalau manusia seolah-olah merasa ia faktor tunggal untuk menyelesaikan masalah, ya kurang cocok juga.” imbuhnya.
Kang Mamo juga mengajak JM Kalijagan untuk menbumikan filosofi Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Sebab sebenarnya orang Jawa tidak ada marahnya. Intonasi orang Jawa itu tidak ada nada tinggi. Dia akan menggunakan nada datar, lalu turun dan turun lagi. Semakin lama semakin menjatuhkan diri. Kembali menyoal karya Sunan Kalijaga yang ia bacakan tadi, itu adalah tentang empat tingkatan: syariat, thoriqot, makrifat dan hakikat. “Makrifat dan hakikat bukanlah sesuatu yang angker.” tutupnya.
Dari dua urunan ilmu yang dipaparkan oleh jamaah, kita akan mengerti bahwasanya sinau bareng di Maiyah bukanlah menerima informasi tunggal, pemahaman tunggal, apalagi kebenaran tunggal. Namun lebih pada informasi, pemahaman dan kebenaran yang datang dari mana saja. Yang selalu menjadi pijakan sinau bareng Maiyah dimanapun berada adalah mencari apa, bukan mencari siapa yang benar. Hal itu berangkat dari suatu hadits ‘undzur ma qol, wa laa tandzur man qol’. Sehingga, tidak ada yang namanya mursyid, kiai, guru yang kebenarannya mutlak di sinau bareng Maiyah. Melainkan yang paling mutlak kebenarannya adalah kebenaran Allah dan kebenaran yang disampaikan melalui kekasihNya, Muhammad. [Ajib/ Redaksi Kalijagan.com]