Mukaddimah Maiyah Kalijagan Demak edisi 4 Januari 2019
Seringkali kita memaknai waktu hanya ‘rak keroso kok wis setahun’, umpamanya. Suatu yang tanpa pemaknaan, suatu yang tanpa ancaman, tanpa harapan. Ya begitu, begitu saja. Suatu yang muspro, tanpa ada yang membekas sebagai hikmah dalam perjalanan hidup.
Padahal Allah, dalam beberapa ayat sangat intens terhadap waktu. Baik itu perhitungan (muhasabah), momentum (ajal), ‘ashr, dhuha, lail, dan banyak lagi persinggungan Allah mengenai waktu. Artinya apa? Barangkali waktu adalah makhluk yang diutus untuk menemani manusia–khususnya. Agar sadar bahwa setiap sekon, detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, tahun dan seterusnya adalah sesuatu yang sangat berharga dan penting dalam perjalanan ‘mampir ngombe’ manusia di dunia. Dalam hadits pun sama. Waktu menjadi persinggungan penting bagi Rasulallah Muhammad.
Ada pepatah Arab yang amat menarik mengenai waktu, untuk kita sinauni bersama. “Waktu laksana pedang, jika engkau tidak menggunakannya dengan baik, ia akan memotongmu”. Sementara itu, yang berbanding terbalik dari pepatah arab tersebut, ada pepatah para jomblo yang habis patah hati. “Hanya waktu yang akan menyembuhkan luka”. Lebih dari itu, hampir setiap kali Maiyahan, Mbah Nun sering menyinggung soal waktu.
Waktu sudah memasuki tahun 2019 masehi (berdasar putaran Matahari), 1440 hijriyah (berdasar putaran rembulan). Sebenarnya selain kedua penanggalan itu, ada tahun Saka, produk orisinil bangsa Nusantara. Yang semula adalah penanggalan berdasar perputaran matahari, oleh Sultan Agung (pada 8 Juli 1633/ 1 Muharram 1403 atau tepatnya tahun 1555 saka) diubah menjadi penanggalan yang berdasar perputaran rembulan.
Akar dari tahun Saka mengacu pada siklus pranatamangsa (35 hari dalam satu bulan), yang masih kita kenali dalam ilmu pertanian masyarakat desa: kasa (kartika), karo (pusa), katelu (manggasri) dan seterusnya. Khazanah harinya ada Pancawara, siklus lima hari: Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Ada Sadwara, siklus enam hari: Tungle, Aryang, Warukung, Paniron, Uwas dan Mawulu. Lalu ada lagi, Saptawara (siklus 7 hari): Radite, Soma, Anggara, Buda, Wrahaspati, Sukra dan Tumpak. Selanjutnya ada siklus 8 hari (Hastawara), 9 hari (Nawawara), dan 10 hari (Dasawara). Begitulah warisan khazanah orang tua pada kita, agar kita tidak terluka oleh waktu.
Di pergantian tahun masehi ini, perlu sangat kita menyinggung waktu. Sebab kebanyakan manusia yang matang dalam menghitung masa depannya adalah ia yang mampu mengambil hikmah dari masa lalunya. Sementara masa kini (yang terus bergerak) adalah laboratoriumnya, tempat pandai pedangnya. Begitulah kiranya pepatah arab, yang mengumpakan waktu laksana pedang. Dan kita sudah dibekali secara historis oleh pengalaman orang tua yang sangat mapan mengendalikan waktu, sampai-sampai dalam perwayangan kita punya tokoh yang bernama Batara Kala. Ditambah lagi, kita dibekali Allah Al Qur’an, yang banyak menyinggung waktu dan kekasihNya, Muhammad, yang kita pahami melalui hadits-hadits.
Oleh sebab itu, Maiyah Kalijagan mengangkat tema Al Waktu Kassaif pada edisi 4 Januari 2019, sebagai ruang muhasabah (perhitungan) waktu bersama. Tanpa ada terompet yang ditiup sia-sia. Tanpa ada kembang api yang menyala hampa. Tanpa kemacetan pikir dan hati dalam memaknai waktu. Jika pun ada demikian, tentu asal Allah dan Rasulullah tidak marah pada kita. [HBA/ Redaksi Kalijagan.com]