Belajar dari sejarah memang tidak ada habisnya, sejarah adalah suatu yang menjadi bagian dari ‘qudrotulloh’, dimana yang sudah lewat merupakan taqdir yang sudah terjadi dan menjadi ketetapan yang tak bisa diubah. Mengubah apa yang telah terjadi di masa lalu adalah “hil yang mustahal”. Kita sepatutnya belajar dari masa lalu, terus berupaya mengevaluasi dan menginteropeksi diri sesuai dengan kapasitas masing-masing, untuk dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian, agar apa yang telah lewat menjadi modal yang bermanfaat, utamanya bagi pertumbuhan spiritual, agar semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Swt.
Semenjak masa sahabat, dalam pandangan awam kita, politik kekuasaan merupakan sumber dari permasalahan. Karena Rosululloh SAW. sendiri tidak menunjuk atau mewariskan sistem yang baku dalam setiap peralihan kepemimpinan. Sayyidina Abu Bakar menjadi khalifah karena tafsir para sahabat bahwa beliaulah yang pantas menggantikan Nabi SAW., sebagai pemimpin, karena berkali-kali mendapat perintah Nabi SAW., untuk menggantikannya menjadi Imam (pemimpin) dalam salat berjamaah. Lain halnya dengan Sayyidina Umar Bin Khatab beliau menjadi Khalifah karena penunjukan dari Sayyidina Abu Bakar, sedangkan Sayyidina Usman menjadi khalifah karena sebuah rapat dari tim formatur yang dibentuk sebelumnya oleh sayyidina Umar. Begitu juga Sayyidina Ali yang diangkat dari hasil ijtihad para sohabat yang dianggap pantas menggantikan Sayyidina Usman. Kemudian berlanjut ke politik dinasti, Umayah, Abbasiyah, Saljuk dan terakhir Ottoman.
Akan tetapi hanya masa sayyidina Abu Bakar kepemimpinan dianggap agak berjalan mulus, walau ganjalan para penentang sepeninggal Nabi SAW, karena ada gerakan dari beberapa tak mau berzakat dan munculnya “pengakuan-pengakuan” adanya Nabi baru. Sayyidina Umar meninggal terbunuh oleh tangan seorang Majusi, sedangkan Sayyidina Usman, terbunuh oleh para munafik yang demo berjilid-jilid sehingga chaos tak terhindarkan, dan juga Sayyidina Ali meninggal karena kekejaman khawarij. Sekte yang baru muncul kala itu yang berkeyakinan semua golongan di luar mereka adalah sesat dan kafir serta halal darahnya. Begitu juga dengan politik dinasti Umayah, Abbasiyah, Saljuk dan Ottoman, semua diwarnai dengan konflik berdarah.
Itu semua adalah gambaran umat Rosul saw. sepeninggal beliau, memang fitnah dalam bidang politik cukup hebat dampaknya. Juga dengan, suksesi Majapahit ke Demak, Demak ke Pajang, Pajang ke Mataram, semua diwarnai pertumpahan darah yang mengakibatkan kerugian baik kemanusian, harta benda, sosial, bahkan krisis adab dan budaya. Awal kerajaan Islam Demak berdiri dipenuhi dengan nuansa spiritualitas ajaran Walisongo, bahkan mereka para wali adalah sekelompok dewan yang membidani lahirnya Kerajaan Demak. Tetapi lambat laun peran dewan wali sepertinya mulai luntur. Pergeseran dakwah / syiar kultural menjadi dakwah / syiar yang sifatnya politis antara lain menjadi sebab lunturnya nilai-nilai luhur ajaran walisongo.
Di samping tantangan internal, ada tantangan lainnya yaitu eksternal, masuknya pendatang asing ke Nusantara baik Portugis, Spanyol, Belanda, juga mewarnai perebutan “kue besar” ini. Dan juga sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak puas dengan berdirinya kesultanan Demak.
Belajar dari sebuah konflik tidaklah mudah, apalagi konflik besar yang kelihatannya barangkali sangat massif dampaknya.
Pernah penulis memperoleh keberuntungan berada di tengah-tengah dialog ringan antara Habib Lutfi Bin Yahya, Pekalongan, dengan Profesor Abdul Hadi Muthohar, ulama Mranggen Demak, yang masih keturunan Sunan Kalijaga. Setelah perbincangan ringan mengenai beberapa situasi sejarah umat Islam yang diwarnai berbagai macam konflik, lalu Profesor Abdul Hadi berkata kepada Habib Lutfi :
“Habib, setidaknya dunia mengambil sisi positif dari konflik yang ada di timur tengah, (berkahnya) ada konflik Muawiyah dengan ahlul bait, katurunan Rosul saw. yang akhirnya berdampak diburunya para habaib keturunan Rosul saw dimanapun mereka berada, setidaknya ada 2 :
Pertama : Kaum Ajam (عجم : non Arab) memperoleh keberkahan bisa berjumpa dan mengenal keturunan Rosululloh saw., (Ini adalah berkah yang luar biasa), karena dengan konflik itu para habaib keluar dari tempat asalnya, pergi, dan mengungsi serta menyebar ke seluruh penjuru dunia, dan orang-orang ajam dapat mengambil keberkahan mereka.
Kedua : Agama Islam jadi ikut tersebar ke seluruh penjuru dunia, karena kehadiran para habaib itu, yang kemudian bermukim di luar Timur Tengah. Dan orang-orang dari berbagai pelosok negeri di luar Arab, banyak yang mengenal Islam dan kemudian memeluknya dari tangan para habaib ini, keberuntungan ini pula yang di alami penduduk Nusantara (Indonesia).”
Habib Lutfi yang mendengar apa yang dikatakan Profesor Abdul Hadi menanggapi dengan tersenyum, dan manggut-manggut, tanpa sepatah kata pun, mungkin ini tanda bahwa pendapat Profesor dapat dipahami dan disetujui.
Jika pendapat ini diqiyaskan pada setiap konflik politik yang terjadi dalam dunia Islam, dimanapun berada seperti halnya di era Demak yang lalu, bisa jadi yang terjadi adalah makin meluasnya Islam makin berkahnya agama ini, ketika makin berat ujian yang ditimpa oleh umat ini, maka makin kuat dan tegar pula agama ini sebagai pegangan umat Rosul saw.
Pemerintahan Islam dari Demak Bintoro yang lokasinya berada di pesisir utara Pulau Jawa yang sudah mulai mapan dakwah syiarnya di pesisir utara, dibawa ke tengah ke Pajang, oleh Jaka Tingkir / Sultan Hadiwijaya yaitu di tengah pedalaman pulau Jawa, maka kuatlah Islam di tengah-tengah, dan sekitarnya. Lalu kemudian pemerintahan Islam dipindahkan ke Mararam, pesisir selatan Jawa oleh Panembahan Senopati / Danang Sutawijaya, maka kuatlah pula Islam di pesisir selatan Pulau Jawa dan sekitarnya. Dan akhirnya Islam dapat kuat ke seluruh pelosok Jawa / Nusantara ini, bahkan ke seluruh penjuru dunia, melalui proses-proses yang “ajaib”, bukan hanya lewat jalur politik. Boleh jadi demikian. Karena pada hakekatnya Allah sendirilah yang memelihara dan menjaga Agama Islam ini.
Tapi mengambil hikmah dan berkah di balik semua kejadian ini tidak mudah, karena jika kita tidak memupuk iman kita dengan baik maka artinya kita ikut andil peran dalam merusak agama ini. Apalagi bagi orang Islam yang mempunyai kuasa politik. Inilah yang perlu kita waspadai dan hindari.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imron : 103)
Konflik apa pun bentuknya, saling memusuhi sesama muslim, adalah dilarang. Jadi, mari kita pandai-pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap kejadian, mentaati yang diperintah dan menjauhi yang dilarang Agama. Dan tetap ingatlah bahwa kadang yang terlihat buruk dimata kita belum tentu buruk. Karena barangkali itulah cara Allah “men-tarbiyahi” umat Nabi-Nya.
“…Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”. (QS. Al Baqarah : 216).
Sekian. Semoga Bermanfaat.