Mukaddimah Maiyah Kalijagan Demak edisi 5 April 2019
Apa yang terlintas di pikiranmu mengenai Sayidin Panatagama? Pasti seorang raja di tanah Jawa yang beragama Islam. Tentu demikian tidak salah, sebab seorang raja pertama Kerajaan Demak, yakni Raden Fatah memiliki gelar Senopati Jimbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Beliau sebagai orang pertama yang menjadi raja yang memiliki gelar Sayidin Panatagama. Kemudian tradisi gelar Sayidin Panatagama diteruskan pada masa Kerajaan Mataram Islam, raja pertamanya Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Setelah itu, tradisi gelar tersebut terus dilanjutkan untuk menyebut raja Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta hingga hari ini. Untuk menyebut raja Surakarta dengan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Paku Buwana Senapati Ing Alaga Abdurrahman Sayidin Panatagama. Sementara untuk menyebut raja Yogyakarta dengan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Alaga Abdurrahman Sayidin Panatagama.
Begitulah data sejarah yang kita terima secara umum mengenai Sayidin Panatagama. Dari data sejarah tersebut mungkin ada pertanyaan mengapa dari kerajaan Demak hanya Raden Fatah saja yang digelari Sayidin Panatagama. Kenapa tradisi Sayidin Panatagama tidak diteruskan oleh Kerajaan Pajang? Apa ada konflik pada transisi kerajaan dari Demak ke Pajang, sehingga tradisi gelar tersebut tidak berlaku di masa Kerajaan Pajang? Apa ada yang salah dari gelar tersebut? Mengapa gelar itu kemudian diteruskan di masa Kerajaan Mataram? Apa yang melatar-belakanginya? Dan kemudian dijadikan sebagai gelar tetap oleh dua pecahan Mataram, Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta hingga hari ini, Apa istimewanya? Mengapa Raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta tidak meninggalkan kata Ing Alaga Aburrahman Sayidin Panatagama? Padahal gelar Ngabdurrahman ialah gelar Raden Fatah. Apa ada keterkaitannya antara tiga kerajaan pasca Demak itu dengan kerajaan Demak dan Raden Fatah?
Tentu jika kita teruskan bertanya mengenai hal tersebut, waktu semalam saja tidak akan cukup untuk menyelesaikan apa yang terjadi di masa lalu. Bahkan waktu yang diberikan Allah sebagai usia kita pun tidak akan cukup untuk benar-benar menemukan presisi yang pas, akurasi yang tepat dan kebenaran yang benar-benar benar mengenai sejarah nenek moyang kita. Yang bisa kita lakukan ialah ekstafet mencicil sejarah, bukan sprint hasil mutlak sejarah. Apalagi kita manusia biasa yang tidak memiliki kepemilikan benar mutlak. Sinau bareng adalah cara untuk mendekatkan benere awake dewe, benere wong akeh dengan kebenaran mutlaknya Allah.
Untuk menemukan dasar dari sejarah, setidaknya kita bisa meninjau dari bahasa. Apa itu Sayidin Panatagama? Sayidin sendiri berasal dari bahasa Arab, Sayidina yang memiliki arti tuan kita, bukan tuanku atau tuanmu. Artinya seorang Sayidin memiliki posisi sebagai khalifah/pemimpin yang secara jangkauan wilayah tidak komunal kecil, melainkan komunal besar. Jika kita tadabburi sekarang yang pas ialah posisi seorang Kepala Negara. Tapi apakah hari ini kita masih punya seorang Sayidin, yang titik posisinya tidak sekedar sebagai tuanku atau tuanmu, melainkan sebagai tuan kita bersama, baik secara de facto maupun de jure?
Sementara itu, kata Panatagama sendiri murni dari bahasa Jawa, yang berarti seseorang yang memiliki tanggung jawab mengatur tatanan agama/ageman(pakaian)–lebih tepatnya hukum. Hal paling dekat untuk kita ingat ketika Sultan Hamengku Buwana X mengeluarkan Sabda Raja–meski sedikit kontroversi. Hal itu sebagai contoh salah satu output dari gelar panatagama yang disandangnya. Lalu apa korelasinya dengan kita yang tidak menjadi raja? Setidaknya kita bisa menjadi panatagama-panatagama bagi diri sendiri.
Mengingat juga, dalam suatu Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng, jika kita hanya menarik busur panah dengan jarak pendek, anak panah kita hanya akan melesat pendek. Sebaliknya, jika kita menarik busur panah dengan panjang, maka anak panah kita akan meluncur jauh ke depan. Mari kita tarik busur panah itu dengan panjang ke belakang, sinau mengenai jejak-jejak leluhur, siapa tahu kita disapa dan mendapatkan hikmah, untuk melesatkan anak panah ke (masa) depan.
Dari beberapa galian pertanyaan dan latar belakang tentang Sayidin Panatagama, maka Maiyah Kalijagan pada edisi 5 April 2019 mengangkat tema Sayidin Panatagama di Universitas Sultan Fatah (Unisfat) Demak. Tentu akan dimulai pada pukul 20.00 WIB. Jika kita belajar sejarah hanya sebagai sebuah dongeng dan kisah untuk menidurkan kita di masa depan, lebih baik kita buta sejarah. Maka agar sejarah tidak sekedar menjadi kisah saja, apalagi yang membius kita untuk lelap menghadapi masa depan, perlu kita sinau bareng mengenai sejarah. [HBA/ Redaksi Kalijagan.com]