Mukaddimah Maiyah Kalijagan Demak edisi 14 Juni 2019
Lebaran, 1 Syawwal 1440 berlalu, orang-orang di perantauan berduyun-duyun hilir mudik—sebagian malah sudah arus balik. Apa makna mudik yang bisa kita gali lebih mendalam? Apa makna lebaran yang mesti kita temukan? Lalu apa yang mendasari ketupat, yang dicetuskan Sunan Kalijaga, yang kemudian kita mentradisikannya sebagai Kupatan. Apa? Ini yang amat jarang kita sentuh, kecuali ajang pamer kekayaan dan hegemoni pangkat jabatan. Bahkan konon para milenial generasi Z menjadikannya sebagai ajang pamer pacar.
Lebaran konon dimaknai sebagai sesuatu yang lebar, selesai. Puasa yang telah selesai, tinggal foya-foya dan penambahan berat badan secara signifikan. Kedua, salah antar sesama manusia, yang dipahami sebagai haqul adami, hak-hak anak cucu Adam, diperlakukan sebagai yang telah usai, lebar.
Meski dalam khazanah ilmu Maiyah, lebaran, proses meminta maaf dan memaafkan haruslah berlaku saat kita melakukan kesalahan dan peristiwa disalahi. Tidak melulu menunggu Lebaran 1 Syawwal tiba. Dengan pemaknaan tersebut tiap waktu kita selalu menjadi fitri dari kesalahan atas sesama. Kita ‘idul fitri saban waktu tiap kesalahan menjangkiti kita.
Maka mudik, balik kampung, peristiwa sangkan paraning dumadi, peristiwa inna lillahi wa inna ilaihi raji’un bisa kita lakukan pada fase berikutnya. Fase mudik ialah fase kesadaran bahwa kita kembali kepadaNya. Kesadaran kita bukan penduduk asli perkotaan. Kita bukan penduduk asli bumi. Yang kekal adalah desa, yang kekal itu akhirat sebagai kampung halaman asli kita. Proses inilah yang seringkali dimaknai tidak mendalam dan luas. Sehingga muncul mudik itu sebagai akronim dari mulih dilik, pulang sebentar. Opo ya begitu?
Sebelum kita benar-benar mudik, entah kapannya masih dirahasiakanNya. Kita sebenarnya amat sangat membutuhkan bekal yang banyak. Bekal apa saja itu, tentu perlu kita saling belajar, saling sinau, saling berbagi khazanah pengetahuan, ilmu dan nilai yang kita dapati dan temui masing-masing. Sehingga kita mudiknya tidak sendirian, tapi rombongan—agar di kampung halaman kita tidak kesepian.
Terakhir, beberapa pertanyaan untuk kita sinauni bersama. Setelah adanya Lebaran 1 Syawwal, yang tradisinya sangat amat bid’ah, mengapa ada lagi Lebaran Ketupat/Kupatan yang jatuh seminggu kemudian tepatnya 8 Syawwal? Benarkah Sunan Kalijaga yang memprakarsainya sebagaimana tradisi Kupatan yang sedang berlangsung kini? Jika iya, tradisi yang terjadi hari ini, dekatkah dengan nilai yang dilangsungkan waktu itu? Jika tidak, lalu bagaimana dan seperti apa?
Oleh sebab-sebab itu, sebagai majlis kebersamaan dan laborat ilmu, Kalijagan mengangkat tema Kupatan pada edisi Jum’at Kliwon, 14 Juni 2019/ 11 Syawwal 1440 pukul 20.00 WIB. Di Universitas Sultan Fatah, Jl. Katonsari No. 19, Demak. Mengajak engkau semua merajut persaudaraan, merayakan Kupatan dengan ilmu dan kegembiraan Maiyah. [HbA/ Redaksi Kalijagan.com]