Sejarah kita ditulis sebagai sejarah perebutan kekuasaan, bunuh membunuh, dan pertengkaran. Setelah Patiunus gugur hingga Demak bubar kita ditunjukkan leluhur kita yang serakah. Benarkah demikian?
Hingga, jika leluhur sebagai contoh, seolah tidak ada yang bisa dicontoh dari mereka. Kami tidak ingin mengingat leluhur kami demikian. Kami ingin sebagai mana ajaran leluhur, “Mikul duwur mendhem jero.”
Prawata dalam sejarah yang beredar adalah raja Demak keempat. Beliau meninggal karena dibunuh atas nama perebutan hak kekuasaan. Pemerintahannya mundur karena beliau dianggap lebih ngulama daripada politikus.
Dalam analisa kami, Prawata adalah Raja Demak ketiga. Ia menggantikan Patunus yang gugur. Pemerintahannya adalah pemerintahan peralihan. Di Sukolilo Pati pemerintahan di kelola sementara sebelum semuanya reda. Setelah suasana kembali tenang, pemerintahan dikembalikan ke Bapaknya, Trenggono.
Prawata adalah ulama, ia mengutamakan ilmu dan penyembah Robbi. Kita bisa memilah apa yang menjadi pusat di antara kekuasaan, ilmu, harta, dan kekuasaan, atau penghambaan kepada Tuhan? Leluhur kita adalah manusia-manusia penghamba Tuhan, mereka menititikberatkan pada penghambaan, bukan kekuasaan sebagaimana sekarang digambarkan.
Kalijagan edisi Juli 2019 akan mempelajari Sunan Prawoto, manusia batas. Monggo.