Mukaddimah Maiyah Kalijagan edisi 6 September 2019
Sejarah memiliki kebenaran yang benar-benar hanya satu, namun ketika sampai pada pembacanya, mengalami distorsi kebenaran dari muaranya. Sehingga muncul tafsir-tafsir yang beragam dan banyaknya versi dari suatu sejarah itu. Begitu kiranya akhir-akhir ini yang sering menjadikan benturan tafsir atas sejarah yang disikapi secara baper. Maka menjadikan sejarah sebagai sebuah makna yang hidup dalam perjalanan kita adalah ikhtiyar untuk tidak terjebak pada benar dan salah.
Salah satu sejarah yang perlu kita pelajari kali ini ialah Gundul-gundul Pacul. Syi’ir peninggalan Sunan Kalijaga pada Abad 14 M. Syi’ir yang menurut Mbah Nun, sebagai pesan kepada para pemimpin yang dititipkan lewat anak-anak. Bukankah itu hanya syi’ir mengenai nuansa pasar saja? Lalu mengapa menjadi pesan istana yang dititipkan kepada anak-anak? Mengapa Sunan Kalijaga menitipkan itu kepada anak-anak? Adakah nilai yang mendalam dan meluas dalam diri anak-anak?
Dari beberapa pertanyaan tersebut kita bisa menemukan banyak hal hanya dari satu penggal sejarah, syi’ir Gundul-gundul pacul. Dan selaras dengan beberapa tajuk Mbah Nun mengenai manusia nilai, manusia istana dan manusia pasar. Dimanakah kita bisa menemukan manusia nilai dalam gundul-gundul pacul? Dimana manusia istananya? Dimana manusia pasarnya? Mari kita pelajari sedikit mendetail dan pelan-pelan.
Secara historis, Gundul-gundul pacul dititipkan kepada anak-anak agar pesan itu tidak hanya bertahan dalam hitungan tahun saja. Namun bisa sampai berabad-abad sebagai pengingat manusia, yang tak lain pegangan hidupnya adalah nilai. Mengapa anak-anak yang beliau titipi? Sebab diantara usia manusia: tua, dewasa, remaja dan anak-anak, anak-anaklah yang masih suci secara nilai. Anak-anaklah yang masih suci pikiran dan hatinya, polos sikap dan lelakunya. Tidak banyak manipulasi dan kedzalimannya. Sehingga syi’ir itu tetap utuh tanpa ada pengurangan maupun penambahan. Begitu kiranya yang kita temukan sebagai manusia nilai.
Secara makna, Mbah Nun sering kali menuturkan dalam sinau bareng dan maiyahan yang berlangsung dan juga dalam tulisan beliau mengenai Gundul-gundul pacul sebagai pesan Sunan Kalijaga kepada Istana. Dari hal itu kita bisa menemukan bahwa pemimpin jangan sampai gundul-gundul pacul yang gembelengan dalam nyunggi wakul kesejahteraan rakyat. Jika istana menyunggi wakul kesejahteraan, wakul amanat, mestinya berhati-hati, jangan sampai jatuh di jalanan kepentingan para pejabatnya. Jangan sampai wakul itu tidak sampai pada rakyat untuk kesejahteraan dan kemanfaatannya. Mungkin dari itu kita bisa mempelajari manusia istana secara lebih meluas selanjutnya.
Secara lirik, syi’ir itu tidak jauh dari nuansa pasar. Ada wakul, ada penyunggi, ada sega dan ada ratan. Nuansa yang menggambarkan seorang pedagang nasi yang membawa barang dagangannya ke pasar. Di tengah jalan dagangannya tumpah memenuhi jalanan. Sebab ia gembelengan, tidak fokus dan serius dalam menjalani bisnis dan dagangannya. Barangkali itulah manusia pasar yang kita temukan dalam gundul-gundul pacul.
Mungkin masih banyak tadabbur, tafsiran, sudut pandang dan versi lain yang mesti kita sinauni bersama tanpa harus bersitengang membela kebenaran masing-masing mengenai sejarah, yang kini sedang ramai. Maka Maiyah Kalijagan pada edisi 6 September 2019, mengangkat tema Gundul Gundul Pacul. Sebagai penerus spirit dan pemangku warisan Sunan Kalijaga, kita patut mempelajarinya. Mari, kita sinauni bersama di Universitas Sultan Fatah pada pukul 20.00 WIB. [AN/ Redaksi Kalijagan.com]