Diksi nandur sebenarnya bukan istilah yang baru di Maiyah. Di tahun 2016, Mbah Nun mengajak Jamaah Maiyah untuk menajamkan kembali 3 hal; Poso, Nandur, Sedekah. 3 Hal yang sudah menjadi akar dari Maiyah ini sendiri. Ada banyak hal yang sudah lama menjadi tradisi, dilakukan secara rutin, namun merasa bahwa hal itu biasa-biasa saja, padahal memiliki nilai yang mulia.
Saya selalu tidak nyaman ketika ada teman-teman Simpul Maiyah, terutama mereka yang notabene penggiat Simpul Maiyah memiliki anggapan; “Maiyah ki yo ngene wae, rasah aneh-aneh, rasah dadi padatan, ngalir wae”. Tidak salah ungkapan itu, memang Maiyah itu secara luas adalah sebuah entitas yang sangat cair, tidak mungkin menjadi padat.
Pada tulisan yang saya kirimkan ke teman-teman Maneges Qudroh kemarin, ketika mensyukuri 9 tahun perjalanan mereka, saya menulis sebuah perandaian jika Maiyah dipadatkan menjadi sebuah entitas baru seperti NU atau Muhammadiyah, atau setidaknya menjadi salah satu partai politik, maka paling tidak saya akan duduk di Dewan Pimpinan Pusat bersama Mas Sabrang, Mas Rizky, Mas Hari, dan Mas Humaidi. Alhamdulillah, Maiyah tidak dalam rencana menuju menjadi sebuah padatan.
Hari ini, Kalijagan mensyukuri perjalanan di tahun ke-3. Ibaratnya anak kecil, masih lucu-lucunya. Kalau berbuat nakal, akan dimaklumi. Karena kelucuan anak dibawah lima tahun itu memang sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan. Ndilalah Kalijagan ini bukan anak kecil. Ia adalah sebuah Simpul Maiyah yang muncul di sebuah kota, yang bisa dikatakan sebagai salah satu punjer spiritual di Jawa.
Dan sepertinya, pertanyaan saya kepada Maneges Qudroh juga sangat layak jika saya ajukan kepada teman-teman Kalijagan. Kenapa harus ada Kalijagan? Kan sudah ada Gambang Syafaat di Semarang? Kenapa justru tidak memilih untuk bersama-sama merawat Gambang Syafaat di Semarang? Alih-alih justru bikin entitas baru di Demak? Jawaban dari pertanyaan ini tentu hanya bisa dijawab oleh teman-teman Kalijagan sendiri.
Bisa jadi, memang Kalijagan adalah satu entitas yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat di Demak. Bisa jadi, teman-teman Kalijagan memang membutuhkan wadah untuk aktualisasi diri mereka, dan mereka bersepakat membentuk Kalijagan sebagai wadah tersebut. Sah-sah saja dan boleh-boleh saja.
Saya sendiri terkadang bingung menjawab pertanyaan yang sampai kepada saya; “Mas, bagaimana caranya mendirikan Simpul Maiyah?” Pertanyaan yang tidak mudah untuk menjawabnya. Lebih dari 60 titik Simpul Maiyah saat ini tersebar di berbagai daerah, dalam dan luar negeri, itu tidak ada satupun yang memiliki akte pendirian Simpul Maiyah. Dan sudah pasti, jika ditanya satu per satu dari para penggiat di seluruh Simpul Maiyah mengenai sejarah berdirinya Simpul Maiyah yang mereka giati, tentu akan muncul banyak jawaban yang berbeda. Karena memang keberangkatan masing-masing Simpul Maiyah tidak sama antara satu dengan yang lainnya.
Yang saya khawatirkan adalah apabila yang muncul sejak awal dari teman-teman yang menginisiasi sebuah Simpul Maiyah sudah salah dalam berekspektasi. Melihat gegap gempita Maiyah hari ini, siapa yang tidak tergiur untuk memanfaatkan Jamaah Maiyah sebagai salah satu kendaraan untuk mengambil dan memanfaatkan keuntungan?
Semoga teman-teman Kalijagan bukan yang demikian. Dan saya sangat husnudzhon, bahwa teman-teman Kalijagan dan juga teman-teman Penggiat Simpul Maiyah di manapun saja adalah orang-orang yang dengan kejrenihan hati dan pikiran mereka telah menemukan bahwa Maiyah adalah sesuatu yang harus mereka jaga. Semampu-mampunya, sekuat-kuatnya, seikhlas-ikhlasnya.
3 tahun, jika dibandingkan dengan Padahangmbulan, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Kenduri Cinta dan Bangbang Wetan tentu belum seberapa. Perjalanan Kalijagan masih sangat pendek. Sebagai salah satu Simpul Maiyah yang lahir di era kecanggihan teknologi yang sudah sangat maju ini, seharusnya Kalijagan mampu memberi warna baru. Mengikuti tradisi kakak-kakaknya itu baik, tetapi inovasi juga harus lahir setiap hari.
Suatu hari, Mbah Nun pernah berpesan; “Hidup itu cuma ada 2; Taat atau Kreatif”. Nah, Kalijagan akan mengambil pijakan yang mana; Taat atau Kreatif?
Kembali ke tema awal tulisan ini, Kalijagan sudah melakukan proses nandur. Yang harus dilakukan setelahnya adalah merawat tanduran yang ditanam itu, karena ini proses yang lebih sulit lagi. Merawat tanaman yang ada, agar tidak layu, agar tidak rusak, apalagi sampai gagal panen. Meskipun benar bahwa panen itu adalah Allah yang memiliki hak untuk mengaturnya, tetapi kan kita boleh dong memiliki harapan agar tanaman yang kita rawat ini mengalami musim panen?
Selamat ulang tahun, Kalijagan!
Fahmi Agustian
Koordinator Simpul Maiyah dan Anggota Redaksi caknun.com. Penulis bisa dihubungi di @FahmiAgustian.