1/
Empat tahun yang lalu, sebelum acara Majlis Maiyah digelar di jagat Demak, muncul pertanyaan di benak saya, perlukah ada acara rutinan di tanah para wali ini. Pertanyaan itu muncul pada diri saya, juga saya tanyakan pada sedulur-sedulur seperti Kang Ali Kudus, Kang Nasir Semarang, Ipnu, Hak, dll. Saya bertanya begitu untuk menyakinkan diri saya, seberapa perlu maiyahan di tanah para wali ini.
Di sini sudah banyak terselenggara majlis. Di kampung-kampung ada jamaah tahlilan, ada majlis manaqiban, kumpulan berjazen, majlis maulid dan majlis-majlis lainnya. Baik remaja, bapak-bapak, ibu-ibu, semuanya ada majlisnya masing-masing. Artinya apa, bentuk masyarakat yang saling kumpul, guyup masih subur di sini.
Kedua, kenapa saya gamang, saya khawatir adanya majlis ini akan menimbulkan satu identitas baru, dan menjadi pemisah di antara majlis dan organisasi kemasyaraktan yang terlebih dahulu ada. Sampai akhirnya majlis ini terselenggara. Saya telah menepis kekhawatiran. Alasannya sederhana, terhadap hal baik maka kita jangan ragu. Di awal-awal kami ingin kenalan dengan komunitas-komunitas yang terlebih dahulu ada dengan mengundang mereka untuk bicara di Kalijagan. Kami belajar kepada mereka.
2/
Sebelum Kalijagan ada, sebenarnya manusia-manusia Demak sudah banyak yang berkenalan dengan maiyah. Buktinya, terdapat dua group FB Maiyah Demak. Satu adminya Mas Danu, yang satunya lagi seorang teman yang tinggal di Karanganyar.
Di sini juga ada Komunitas Pecinta Berbagi yang ternyata penggiatnya juga telah bersinggungan dengan Mbah Nun. Ada Kang Hasan juga Kang Zainal ketua Karangtaruna Demak, menurut pengakuannya bahkan pernah sowan ke Mbah Nun untuk menyelenggarakan acara maiyahan di Demak. Kang Djoko mendirikan Warung Kopi Maiyah, dan banyak lagi teman-teman yang biasa datang ke Masjid Baiturahman Semarang untuk mengikuti Gambang Syafaat.
Banyak teman-teman lain yang telah bersinggungan dengan maiyah seperti Kang Nadhif, Kang Afif, baik di Yogya maupun di Jakarta. Perlu adakah Kalijagan karena di Semarang juga sudah ada Gambang Syafaat?
3/
Kalijagan terselenggara. Karena saya melihat semangat teman-teman dengan alasannya masing-masing, saya tidak tahu, yang tahu adalah mereka masing-masing. Saya mendapat pembeda antara Kalijgan dengan Gambang Syafaat. Karena jumlah pesertanya tidak banyak, hanya sekitar 30-50 orang maka Kalijagan bisa menjadi forum curhat. Para pekerja ini mendapat waktu berbagi rasa dengan saudaranya sebulan sekali. Semua yang hadir berkesempatan bicara tanpa harus malu karena semuanya sudah kenal dan akrab.
Penggiat itu sekaligus jamaah. Baru melangkah satu tahun ketika Kalijagan diselenggarakan di Masjid Agung Demak dan berlanjut di Kampus Universitas Sultan Fatah yang hadir banyak, suasana melingkar sedikit hilang. Baru setelah pandemi datang, keguyupan itu terasa lagi karena yang datang tidak banyak, dan anjangsana dari rumah ke rumah kembali dijalankan.
4/
Yang diragukan ketika menyelenggarakan rutinan meskipun sebulan sekali adalah istiqomah. Tidak salah jika orang lain ragu, kami saja juga ragu. Ada susahnya menyelenggarakan acara ini, apalagi pada musim hujan. Para penggiat sering basah kuyup.
Para penggiat Kalijagan dari jauh-jauh. Mereka harus menempuh perjalanan hampir satu jam untuk sampai lokasi yang waktu itu diselenggarakan di Unisfat. Misalnya Amiq dari Mranggen, Yusuf, Najib, Uky dari Wedung, Kang Yanto dan Kang Ahyar dari Perbatasan Dempet, Kang Haq dari Timbulsloko-Sayung, dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Rumusnya apa biar tetap kuat istiqomah menyelenggarakan Kalijagan, suatu ketika Kang Mamo bertanya. Saya jawab, tidak usah terlalu semangat, tidak perlu terlalu serius, tidak usah muluk-muluk, dan ada target-target. Pokoknya jalani saja. Maka di Kalijagan tidak ada rapat kerja, tidak ada visi-misi, apa lagi program kerja. Minggu besok kami akan menyelenggarakan acara ulang tahun yang keempat. Kami akan potong tumpeng dan satu ingkung. Matursuwun Gusti, matursuwun sedulur-sedulur.