Ia duduk bersimpuh
Di atas galar bambu
Di atas lantai tanah yang dingin
Matahari menikam-nikam gedek rumahnya
Ia bersimpuh
Memandang kedua putra-putrinya yang mendengkur
Memandang hidupnya yang gelap
Tanpa mripat, tanpa cahaya
Mbok Markisah, senang janda
Lima belas tahun lalu suaminya disembelih
Darah muncrat dari lehernya
Dan ia dilempar ke Kali Brantas tanpa sempat memekik
Bertahun-tahun Mbok Markisah menangis
Tetapi akhirnya tangis itu menertawakan dirinya
Toblas-toblas—kenapa menangis
Kenapa tak bersyukur?
Lelaki-lelaki gagah perkasa utusan negara itu
Telah membunuh kebodohan, membasmi kedunguan
“Suamiku ini tolol, ia ikut-ikutan…” katanya
Mbok Markisah kemudian kerja jadi buruh tani
Karena ia yakin hidup tak bisa dianyam dengan tangis
Hidup adalah berhektar-hektar Wak Kaji Kasan itu
Maka Mbok Markisah ikut buruh tandur, ndaud, ani-ani
Juga ngasak di beberapa sawah yang lain
Mbok Markisah mencincing kain jaritnya
Menghemat kinangan susurnya, memerah keringatnya
Sampai putra sulungnya tamat SMP, meskipun
Terlambat
Dan di dada putrinya tumbuh dua butir apel kecil
Mbok Markisah memandangi kedua putra-putrinya itu
Sayang mereka pemalas, keset, tak mau mbantu kerja
Kelakuannya tiap hari seolah-olah berkata:
“Simbok, Simbok, aku sudah tamat SMP
Tidak pantas lagi macul di sawah
Tak patut bergaul dengan lumpur dan air kotor
Apalagi menjinjing keranjang rumput
Simbok, aku adalah alumnus SMP
Bukan petani. Aku harus ke kota, Simbok, ke kota….”
Sang putra akhirnya memang jadi buruh di kota
Di sebuah pabrik yang menggajinya 2.000 rupiah seminggu
Mana cukup—ia melangsungkan hidupnya secara ajaib
Tetapi toh sang adik jadi ingin ke kota
Seperti juga banyak teman-teman putri sedesa lainnya
Simbok Markisah amat sayang kepadanya
Tak tega berpisah dengannya
Tetapi ia sadar kemampuannya terbatas
Makin lama makin tak mampu menghidupi putra-putrinya
Maka dilepaskannya
Sebulan, dua bulan, setengah tahun, setahun
Berjalan amat lambat bagai gerobak pedati
Karena kerinduannya kepada anak-anak dari detik ke detik
Sang putri penghasilannya ternyata lebih banyak
Bahkan terlalu banyak untuk anak yang hanya tamat SD itu
Simbok menerima kiriman dua puluh ribu per bulan
Menerima kiriman jarit, baju, kendit, berbungkus-bungkus tembakau
“Beruntunglah putriku dapat juragan yang baik,” gumamnya
Tetapi pada suatu hari seorang tetangganya mengemukakan
Bahwa sang putri di Surabaya tidak hanya menjual
Keringatnya, ia bahkan menjual tubuhnya
Halilintar menggelegar di telinga Mbok Markisah
Hampir ia jatuh pingsan, matanya membelalak
Akhirnya ia berlari, berlari, sambil meraung-raung
Sampai ke jembatan, ia terjun ke tebing sungai
Yang berbatu-batu, pecah kepalanya!
Rohnya terbakar!
Rohnya melayang-layang tak berketentuan
Meninggalkan tubuhnya yang terkapar
Rohnya meraung-raung, menghardik kehidupan
Mengutuk mafsu manusia
Dan segala peristiwa yang membingungkan
Yang membingungkan!
Anak-anakku
Apa yang sebenarnya kita cari?
Kesetiaan menempuh perjalanan yang panjang
Atau hasil dari perjuangan itu?
Apa yang kita cari anak-anakku?
Kedamaian? Kebahagiaan? Kekayaan?
Atau sekadar kelangsungan hidup saja?
Matahari demi matahari harus ditaklukkan
Tapi kau telah gugur pada langkah pertama
Kau menjadi budak dari impian-impian dungu
Anak-anakku
Siapakah yang secara dahsyat menyodorkan impian itu?
Siapa? Siapa?
Menurut ilmu agama
Buruh ialah seluruh umat manusia
Mengabdi kepada Tuhannya
Kepada mimpi-mimpi dan fatamorgana
Kepada gincu, gengsi, lambang yang warna-warni
Menurut ilmu filsafat politik
Buruh yang tertinggi ialah seorang presiden
Mengabdi kepada rakyatnya
Bukan rakyat yang mengabdi kepada presidennya
Menurut matematika ekonomi
Buruh ialah semacam kerbau
Yang dicocok hidungnya
Ia harus membajak sawah
Dalam kenyang maupun lapar
Menurut ilmu kebudayaan
Buruh ialah sampah-sampah yang kintir di kali
Terseret sampai ke laut
Dan ia terapung-apung, tergantung ke mana
gelombang mengarah pergi
Menurut ilmu pengetahuan modern
Buruh ialah sekrup mesin
Dibuang kalau karatan
Kalau loyo ia dicambuk
Kalau habis tenaganya ia disembelih!
pabrik-pabrik meraung!
mesin-mesin berderak-derak!
aku hanya debu
lekat di roda-rodanya
aku berputar-putar sepanjang hari
aku terengah-engah 8 jam sehari
aku menggilas barang menjadi barang
bertumpuk-tumpuk barang
aku kirim ke perut buncit para juraganku
aku tergilas oleh mesin-mesin itu
hmmmmg–betapa letih tubuhku
betapa letih jiwaku
letih, letih, letih
aku tak punya waktu untuk diriku sendiri
seorang kawanku bilang:
hidup adalah perjuangan untuk jadi manusia
dan kau gagal, kau adalah mesin yang meraung-raung
yang berputar-putar, Bekerja keras tanpa jiwa
baiklah, tetapi ini bukan soal manusia
ini soal sepele saja: bagaimana mengganjal perut
dari jam ke jam, dari hari ke hari
ini hanya soal mempertahankan detak jantung
kambing-kambing menjelajah lapangan rumput
ia makan sekenyang-kenyangnya tanpa bayar
tapi aku, seorang manusia, makhluk paling mulia
menerima 2.000 perak seminggu
kubayar dengan keringatku, dengan tenagaku
dengan kemanusiaanku, dengan harkatku
ayo kerjakan!
dengan penuh tenaga, semangat, dan gairah
ini adalah perjuangan hidup
merangkak dan merangkak menuju puncak sukses
orang mesti bersedia susah payah
untuk mencapai sukses
orang harus lebih dulu menderita
sebelum mengecap bahagia
orang harus berjuang dan berjuang terus
orang harus kerja dan terus kerja
demi kemajuan negara
kemajuan ekonomi
kemajuan pembangunan
kemajuan produksi dalam negeri
itu bagian dari nasionalisme
kamu harus kerja, kerja, kerja!
Yang lain-lain hanya nomor dua …
Puisi Karya Emha Ainun Nadjib (Mbah Nun) dalam buku ‘Sesobek Buku Harian Indonesia’,
Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2017