Jumat malam pekan pertama pada bulan Januari tahun 2023 kali ini jatuh pada tanggal 6. Pada saat itulah acara kalijagan yang masih terselenggara di Joglo Unisfat terselenggara. Sore hari sebelum acara dimulai hujan sempat turun, mendung juga masih menggelantung. Pada saat itu banjir di Kabupaten Demak belum benar-benar surut. Sepekan sebelumnya tepatnya pada tanggal 30-tanggal 01, hujan turun terus menerus hampir tidak ada jeda di kota ini mengakibatkan sawah-sawah tergenang, jalan-jalan tergeang, juga di beberapa tempat masuk rumah.
Suasana inilah yang menginspirasi para pengiat mengangkat tema ini, “Iki kutho dudu segoro” dengan kesadaran adanya perubahan lingkungan di sekeliling kita. Membicarakan ini bukanlah hal angyar bagi publik Demak. Dulu pada tahun 2014 pernah diselenggarakan seminar dengan tema ‘Demak Tenggelam”, lalu pada tahun 2018 Kalijagan juga mengangkat tema “Sinau Iline Banyu”.
Membaca tema ini tafirannya bisa macam-macam, bisa terdengar marah atau biasa saja. Tidak, teman-teman Kalijagan tidak marah. Tema tersebut bisa didengar dengan nada santai. “Hau, ini kutho lho, bukan segara” maka mari kita pikirkan bersama-sama. Karena harus kita sadari bahwa lingkungan Demak memang telah berubah. Genangan air yang dulu tidak sampai jalan raya, sekarang ini ajek setiap hari jalan raya di Demak tergenang air. Setelah kita sadar bahwa Demak rumah kita bersama ini telah berubah lalu kita mau mengapain?
Acara dimulai pukul 20.16 mundur 16 menit dari yang dijadwalkan. Acara dimulai dengan terlebih dahulu tadarus. Tikar memag tidak digelar semuanya dengan pertimbangan hujan mungkin yang datang tidak banyak, jika nanti orangnya banyak baru digelar. Kang Yuli dan Kang Iwan datang paling gasik untuk menata tempat. Jamaah paling jauh datang dari Jepara, namanya Ratna. Dia menjadi satu-satunya perempuan peserta sinau bareng malam itu. Tetapi hal itu tidak membuatnya canggung. Kami berbaur biasa saja.
Sebagaimana biasanya Sinau Bareng Kalijagan dibersamai oleh Kang Nadhif, Gus Haikal, Kang Akhyar, dan temanteman yang lain. Kata Kang Nadhif, kita perlu kejeduk, kepleset dulu baru mau berubah. Menyadarkan masyarakat untuk berubah itu bukan masalah gampang. Misalnya saja, untuk menyakinkan bahwa pembangunan sekolah harusnya sudah dengan bangunan panggung tidak lagi uruk saja susuah. Masyarakat masih berorientasi darat padahal mereka sekarang hidup di lingkungan laut. Jalan diuruk setiap tahun juga akan terkejar karena tanah turun. Jika menggunakan sistem pangung dan umpak maka jika turun bisa dinaikkan lagi dan tidak menghabiskan banyak uang.
Telah disampaikan bahwa penurunan tanah diakibatkan oleh pengambilan air tanah yang berlebih dan vebrasi maka untuk di kampung-kampung pesisir lingkungan harus dikondisikan agar hal itu tidak terjadi, misal membuat rumah yang ringan sehingga tidak cepat turun, mbil bisa ditaruh diluar kampung dengan membangun tempat parkir khusus. Dengan demikian maka tanah kampung tidak cepat turun. Tentang air tanah mulai dipikirkan untuk tidak menyedot air tanah. Caranya adalah memperkuat PDAM dan mengundang swasta untuk ikut mengelola air sungai. Sungai di Demak cukup untuk memenhi kebutuhan air di Demak karena selain sungai di Demak banyak, curah hujan di Demak juga tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sebenarnya bisa dibangun sumur dangkal, dan bagi kampung yang padat pengelolaan air hujan dan sungai ini bisa dilakukan secara komunal.
Gus Haikal menambahkan bahwa perubahan bisa dilihat dari sisi positifnya. Terdapat berkah di dalam perubahan adalah membuat kita berpikir. Memakannya buah quldi oleh Nabi Adam dan Siti Hawa adalah perubahan yang mula-mula. Banjir, penurunan tanah di Demak adalah sebuah cara agar orang kembali menoleh kepada Demak.
Dingin malam itu tidak terasa karena dihangatkan oleh suasana kegembiraan. Kang Yanto dengan gitar kesayangannya mengibur dengan lagu-lagu lirisnya. Sampai ketemu di acara Kalijagan bulan Februari. (Redaksi).