Majlis Maiyah Telatah Demak

MANIFESTO ENTROPI SOSIAL

Pra-Kondisi Nalar

Tragedi hidup berkutat pada ketidakmampuan individu/kelompok dalam mengelola pelepasan atau penahanan atas segala sesuatu yang seharusnya dikendalikan. Sesungguhnya pelepasan/penahanan itu sendiri merupakan bagian dari semesta kendali dengan tujuan mencapai sasaran apapun itu. Selebihnya, dalam proses maupun sesampainya harapannya tidak mengalami katrastrofe kehidupan. Itu bukan dalam rangka menyangkal apa yang pernah diucapkan Fernand Braudel perihal determinisme keniscayaan bahwa hidup individu ditawan oleh nasib, upaya-upaya memengaruhi alur peristiwanya adalah hal sia-sia.

Kendali seseorang atas pilihan hidup meliputi segala sesuatu yang dapat dinegosiasikan ulang sebagai wujud kemesraan antara keyakinan terhadap kepastian dengan peluang aktualisasi diri sebagai individu. Sekompak apapun operasionalisasi suatu struktur sosial, pada akhirnya bermuara pada pemenuhan hasrat unik individual yang berkompromi dengan realitas. Kemudian, apakah individu merupakan produk realitas? Atau realitas yang pada akhirnya membentuk individu secara unik? Kita sebaiknya tidak mudah terjebak oleh semacam pertanyaan manakah yang lebih dulu antara ayam dengan telur.

Pada gelanggang ilmu sosial terjadi pergulatan argumen antara kubu Spencerian dengan Marxian dalam dasawara awal abad ke-20 hingga sekarang. Sajian praktis yang dihidangkan Peter Burke memudahkan kita tanpa harus memilih benih padi, menyemai, sampai menjadi butiran-butiran pulen yang siap disantap dengan lauk serta kondimen sesuai selera. Perubahan tidak unilinear, namun hasil interaksi multilinearitas sebagai bentuk kompromi atas kemungkinan yang kemudian menjadi “pilihan hidup”.

 

Maturasi Batin

Realitas pilihan hidup tidak berupa padatan-padatan kognitif yang terpatri dalam semesta keputusan individu dalam menarik garis nasibnya masing-masing. Beberapa diantara pejuang takdir berupaya membuat takaran proporsional dengan menggunakan dua ingredient pokok yaitu kadar harapan dan proyeksi kenyataan. Pada dasarnya kedua komposisi tersebut merupakan realitas maya yang coba dinyatakan dalam refleksi batin seseorang dalam membuat pilihan sebelum menjadi keputusan hidup. Fase itu menjadi momentum krusial sebab segala konsekuensi sudah hampir dapat dipastikan akan menuntut pertanggungjawaban sebagai wujud mekanisme sunnatullah yang tidak bisa ditolak.

Bagaimana mengelola krusialitas batin dalam proses penciptaan keputusan hidup secara sadar? Secara diskursif terjadi dialog yang semarak dan gaduh diantara jagad kesenyapan individu dalam proses produksi keputusan. Tidak ada seorangpun dalam tataran kesadaran praktis menginginkan malapetaka terjadi dalam setiap tindakan sebagai aktualisasi kebijakan personal. Faktor-faktor endogensial haruslah tetap berkorespondensi dengan realitas-realitas eksogen yang mayoritas pada ranah di luar kendali. Namun manusia adalah pribadi unik yang mampu mengakurkan segala “self-ingredients” nya dalam rangka kompromi situasi untuk mencapai titik stabilitas tertentu.

Unilinearitas menuntun individu pada konsistensi pola dalam menapaki puncak takdir, namun terkadang membuat nalar buntu ketika berhadapan dengan jurang pemisah yang panjang serta dalam. Multilinearitas menawarkan mitigasi rasional yang memungkinkan lebih dari sekadar bertahan dari gempuran-gempuran kenyataan yang seringkali hadir tanpa memberi peringatan. Bukan tanpa peringatan, bisa jadi sensor batin lebih sering terdistorsi tingginya frekuensi serta intensitas proyeksi utopis sehingga akal sehat terlalu silau oleh fantasi triumfalisme. Menghadirkan sensasi kemenangan dalam awal sebelum bertindak tidak ada bedanya dengan menggali lubang kubur sendiri, padahal seseorang tersebut masih dalam bentuk janin, itu terlalu pre-mature. Namun optimisme juga perlu mendapat ruang apresiasi dalam rangka memelihara cita-cita mulia yaitu menghindarkan diri dari tragedi personal yang dapat merambat pada perluasan potensi katastrofe sosial.

 

Social Equilibrium

Lantas, bagaimana rute menuju ekuilibrium sosial yang mungkin bisa menjadi harapan bagi kita semua? Kesadaran perihal maqom serta derajat dalam hal ini memegang peranan krusial. Seperti yang pernah digagas Anthony Giddens tentang “regionalisasi”, yang ternyata oleh leluhur Jawa di Nusantara telah lama berpegang pada pusaka bernama “empan papan”. Keterampilan seseorang dalam mengambil jarak sebelum “momor” (meleburkan diri) dengan individu lain adalah langkah awal mencapai maturasi batin. Manusia adalah makhluk teritorial, sebagaimana ketika dirinya membangun hunian yang nyaman. Ada wilayah-wilayah yang bisa diakses oleh publik, ada area privat yang tidak diperkenankan bagi individu siapapun.

Dalam Serat Kaki Walaka, Kaki Walaka pernah berpesan agar generasi sesudahnya tidak satu ranjang dengan garwa saat malam hari kecuali “bila perlu” sebagai mekanisme reproduksi struktur relasi perkawinan. Saya tidak ingin membahas dengan menggunakan “fixed lense” dengan panjang vokal tertentu, namun dalam perkara ini pemanfaatan “lensa sapujagat” lebih diperlukan untuk mendapatkan komposisi bingkai yang lebih proporsional. Realitas merawat privasi adalah sebuah keniscayaan di era keterbukaan yang justru malah semakin menerabas konsep “aurat” secara prinsip. Segala sesuatu yang seharusnya tertutup biarlah tetap menjadi keindahan yang misterius, sebaliknya segala sesuatu yang sudah ditahbiskan milik bersama jangan selamanya dimonopoli oleh hasrat (kon)temporer.

Sikap apresiasi terhadap privasi merupakan manifestasi kecerdasan sosial individu dalam mengambil jeda menuju momentum sosial berikut yang disebut sebagai “momot”. Individu bukan merupakan sepenuhnya gelas kosong sebagai konsekuensi nasib sejak awal mula penciptaan sampai era kiwarinya. Ada siatuasi-situasi pra-kondisi sebagai komposisi pembentuk eksistensi di tengah kehadirannya dalam sirkulasi sosial masyarakat. Gelas kosong bukanlah gelas kosong itu sendiri, namun ada senyawa lain yang dalam fase selanjutnya mengalami displacement dengan hadirnya larutan kopi atau seduhan teh misalnya. Selanjutnya apakah digantikan dengan wujud mineral lain atau “dikosongkan” sebagaimana kondisi semula. Itu semua merupakan dinamika gelas kosong yang sebenarnya “berisi”.

Interaksi antar individu memungkinkan terjadinya mekanisme entropi berupa perpindahan-perpindahan atau lebih tepatnya saling mengisi satu sama lain. Paradoks kognitif merupakan hal yang tidak disadari namun seseorang yang sedang memindahkan konten intelektualitasnya terhadap orang lain justru mengalami penggandaan kecerdasan yang berlaku secara timbal balik. Dimensi “momot” bukan hanya memindahkan-mengurangi khazanah/perbendaharaan intelektualitas diri, selebihnya itu merupakan mekanisme reproduksi yang mengokohkan struktur kebijaksanaan sekaligus mendukung keseimbangan sosial di tengah dominasi ketimpangan relasi komunal. Konvergensi realitas memicu seseorang untuk mendivergensi-kan diri, menjelma melalui koridor masing-masing dalam rangka mewarnai relung-relung pra-kondisi dengan harapan ada sesuatu yang bisa menjadi kado persembahan bagi semesta yang sebenarnya tetap baik-baiknya tanpa keberadaan manusia.

Proses containing/”momot” juga memerlukan keakurasian supaya tidak terjadi over-capacity dan under-capacity. Hal demikian terkait dengan etape selanjutnya yaitu upaya-upaya mempertahankan ekuilibriumitas yang dalam hal ini dikenal sebagai “momong”. Upaya “momong” berhubungan langsung dengan kepentingan memastikan bahwa muatan yang sudah tertransmisikan tidak mengalami reduksi signifikan sebagai ekses komunikasi antar individu. Informasi sebagai “pure voice” sangat rentan mengalami pengaburan/noise sehingga berpotensi mengorosi kemurnian kadar kebenaran yang semestinya dijaga. Realitas daun yang semakin tinggi semakin jauh dari akarnya pohonnya adalah keniscayaan. Itu dinamika zaman, yang perlu dijaga adalah jangan sampai terlalu banyak daun yang gugur sehingga mengancam keberlangsung pohon itu sendiri baik secara per-satuan maupun ekologis.

Momong” sebagai upaya maintenance nilai-nilai kearifan global memerlukan pentradisian yang harus (segera) diciptakan atau dicipta-ulang untuk menghidari diskontinuitas sejarah. Sejarah di sisi lain dipandang sebagai berakhirnya atau ketidakberlangsungannya suatu fenomena/gejala (discontinuity). Dalam konstruksi pendidikan nasional, Indonesia berupaya mengusung obor pemikiran yang telah dinyalakan oleh Ki Hadjar Dewantara melalui pemikiran kontinyu-nya, selain konvergen dan konsentris. Dalam hal ini, menjaga kontinuitas nilai-nilai kearifan lokal merupakan langkah kontributif untuk turut mewujudkan tatanan dunia yang lebih stabil. Sistem among sebagai warisan intelektual nasional sangat berpotensi menjadi penampil pada panggung pertunjukkan global yang tidak sekadar menjadi tontonan, namun juga sebagai tuntunan “momong” bagi siapapun.

Pengasuh Kalatara Channel