Upaya arkeologis perihal proses pencarian letak bangunan pusat pemerintahan Kasultanan Demak belum membuahkan hasil. Beberapa orang mengklaim dengan “argumen” masing-masing bahwa mereka telah mengetahui letak persis posisinya. Yang pasti, belum ada satu pun yang diakui sebagai kebenaran yang bisa diterima semua lapisan masyarakat. Sampai kapankah ketidak-terangbenderang-an ini mampu bertahan?
Paling tidak kita dapat melakukan upaya “berdamai dengan diri sendiri”. Saya tahu tidak semua orang memiliki kepedulian tentang misteri yang belum terpecahkan selama berabad-abad tersebut. Secara politis, transisi sejak era Majapahit hingga Mataram Islam terjadi dengan berbagai dinamika yang “tidak mulus”, sebab beberapa diantaranya ditempuh melalui jalur konflik. Jadi, jika kondisi negeri ini menunjukkan gejala yang “sedikit” gonjang-ganjing, maka tidak ada salahnya menelusuri genealogi historis para pendahulu. Namun, tidak semuanya menyukai pertikaian. Beberapa diantaranya menjadi penengah untuk menyeimbangkan ketimpangan.
Secara politik, Kasultanan Demak sudah berakhir. Demak menjadi wilayah administratif biasa berbentuk kabupaten, buka kota maupun provinsi. Realitas itu harus dipahami sekarang. Eksistensi Kerajaan di Nusantara hingga kini masih terpelihara dengan baik. Setidaknya terdapat ratusan masih bertahan dengan struktur yang relatif terjaga. Bagaimanapun juga, mereka adalah satuan budaya yang berupaya tetap menghidupan warisan-warisan kultural peninggalan para leluhur. Bagaimana dengan “Kesultanan Demak”?
Demak memang sudah tidak memiliki “sultan”, bahkan belum ada lagi pemimpin sekaliber Sultan Fatah maupun Sultan Trenggogo. Demak juga belum terdengar memiliki penguasa visioner sebagaimana Raden Pati Unus dengan wawasan geopolitik yang terlalu berani untuk kondisi saat itu (abad ke-XVI) ketika Perancis belum mengenal “Pencerahan”. Namun jejak budaya masih terpampang jelas melalui satu-satunya peninggalan Kasultanan Demak yang masih gagah terpelihara, yaitu Masjid Agung Demak.
Bagaimana dengan manusianya? Terdapat beberapa cerita bahwa Demak adalah “gudang segalanya”. Manusia model apapun tersedia di Kota Wali ini, dan imaji itu terproyeksi ke beberapa daerah. Entah dengan parameter apa dalam setiap shalat berjama’ah saya hampir selalu “dikorbankan” menjadi imam. Alasan calon jama’ah saya adalah, karena saya orang Demak. Pun demikian dalam beberapa dekade lalu, ada cerita lisan merebak bahwa orang-orang Demak menjadi “penugasa-penguasa kecil” di beberapa titik ibukota sebagai tempat perantauan. Entah mereka sebagai pedagang, atau sebagai “pihak keamanan” yang menjaga “ketentraman” lokasi strategis tertentu. Beberapa diantaranya menjadi orang yang berperan penting dalam lembaga-lembaga pemerintahan di berbagai instansi.
Intinya, manusia Demak adalah sebagaimana jagad pewayangan dengan berbagai karakter yang terdapat di dalamnya. Dari yang paling “kanan” sampai yang paling “kiri”, semua tersedia. Apabila boleh jujur dan adil, sebenarnya itu merupakan hal yang terdapat dalam diri masing-masing seseorang. Itulah yang dinamakan “potensi”, sebab manusia adalah “makhluk kemungkinan” bukan “makhluk kepastian”. Namun permasalahannya adalah, kemungkinan bagian mana yang setiap hari kita “beri makan” untuk tetap hidup dalam kondisi yang entah disadari atau tidak disadari?
Jika yang rutin diberi makan adalah kemungkinan yang baik, maka terdapat peluang kita menjadi manusia dengan kesalehan normatif yang paripurna. Konon orang-orang seperti itu akan menerima catatan perbuatan dengan “tangan kanan” kelak di hari akhir. Itulah yang apabila dituangkan dalam lirik tembang kuno tersurat “wong kang solih kumpulana” (berkumpulah dengan orang-orang saleh). Secara tersirat, lirik tembang itu menebar makna bahwa kita perlu membangun sirkulasi sosial yang sehat, bebas dari limbah dan polusi beracun yang berpotensi mencelakakan kita.
Namun selama di dunia ini belum digulung oleh Yang Membuat Kehidupan, masih terdapat sudut kemungkinan lain yang mengandung daya untuk manusia menjadi buruk. Itulah yang apabila rutin diasupi nutrisi yang pendukungnya, maka rumus yang mendekati kejadian kelak adalah dia akan menerima buku “rapor akhirat” dengan “tangan kiri”. Bagaimana yang terlahir kidal? Itu adalah perumpamaan sebagai simbol awal dan akhir suatu perbuatan yang bisa dipanen tanpa harus menunggu kiamat. Ada ungkapan bijaksana bahwa dunia adalah akhirat yang bisa dicicipi. Surga dan neraka sudah diperkenalkan di alam sementara ini.
Apa yang menjadi identitas Kasultanan/Kerajaan Demak tidak hanya direpresentasikan melalui bangunan/bentuk fisik yang selama ini masih menjadi misteri. Manusia adalah “ratu” bagi batinnya masing-masing. Manusia memiliki kuasa (meskipun tidak mutlak) untuk meregulasikan kehendak dan tindakan dengan batasan-batasan tertentu yang sudah dia mengerti. Jika dia berkehendak baik dan bertindak baik, maka itu adalah kesucian diri manusia yang sejati sebab dia berasal dari Yang Maha Suci dan Yang Maha Baik. Namun apabila dia berniat dan bertindak sebaliknya, itu juga merupakan semesta keniscayaan yang merupakan mekanisme fungsi kerja Yang Maha Menyesatkan. Artinya, kejadian itu perlu ada supaya manusia tidak melakukan tindakan buruk.
Baik sekarang kembali lagi pada pertanyaan awal, di manakah letak bangunan Kasultanan Demak? Mungkin Tuhan masih berkehendak bagi semua orang untuk belum menemukannya. Bisa jadi kita memang disuruh untuk menjadi “ratu yang adil” terlebih dulu bagi segenap rakyat batiniyyah kita yang perlu dihidupi dengan kehendak dan tindakan yang terpuji. Agar suatu saat ketika ditemukan, kita sudah Merdeka dari sifat-sifat tercela yang dapat menguasai nafsu, akal dan jasad kita.