Majlis Maiyah Telatah Demak

Ratu Lembah Manah

Hiruk-pikuk duniawi menyisakan celah bagi beberapa orang mencari kejayaan dengan jalan “lazim” di lingkungan yang masih bernuansa “logika mistika”. Demikian sebutannya apabila saya meminjam terminologi legendaris Tan Malaka. Sesuatu yang tidak masuk akal masih menjadi paradigma dalam bertindak. Sesuatu yang sulit dipahami untuk mencapai hal yang tidak mudah dimengerti. Jalan berliku untuk mencapai tujuan sementara, namun mengandung konsekuensi abadi melekat pada pelakunya, yaitu kekuasaan.

Niccolo Machiavelli adalah guru bagi siapapun yang ingin mencapai kekuasaan dengan jalan apapun, tidak terkecuali mengesampingkan moral. Membunuh, membinasakan, memberangus adalah praktik-praktik yang disahkan menurut pemikirannya. Maka tidak heran pelajaran dalam buku Il Principe menjadi bacaan wajib bagi Napoleon, Stallin, Mussolini, bahkan John F. Kenedy. Machiavelli secara tanpa sensor memberi trik dan tips mencapai kekuasaan dengan cara yang masuk akal, namun beberapa diantaranya keji. Tidak semua isi pemikirannya bertendensi negatif. Ada ungkapan sangat indah yang dia tulis diantaranya, “jika tidak bisa menjadi orang yang dicintai, maka jangan menjadi orang yang dibenci”. Sangat-sangat masuk di akal apa yang dia katakan. Ada juga bacaan lain yang senada dengan cara berpikir Machiavelli, yaitu tulisan George Orwell berjudul Animal Farm. Itu adalah novel alegori tentang cerita binatang sebagai kritik terhadap praktik kekuasaan yang dijalankan para pemimpin Uni Soviet. Kesimpulan yang saya tangkap dari bacaan tersebut adalah “tirani yang diakhiri dengan tirani akan beralih menuju tirani lainnya”, atau dalam ungkapan lebih sederhana adalah “lingkaran setan tirani”. Meskipun itu tulisan pertengahan abad ke-20, namun masih sangat relevan dengan praksis kekuasaan “dunia binatang” era sekarang.

Kemudian apa ide besar yang melandasi transformasi masyarakat dari era itu hingga sekarang? Jawabnya adalah demokrasi. Secara banal, semua orang sudah banyak yang tahu arti demokrasi yaitu perihal kedaulatan rakyat. Namun saya tertarik gagasan Noam Chomsky bahwa itu adalah mekanisme politik yang memiliki kemungkinan paradoksal. Maksudnya, di satu sisi itu merupakan upaya untuk melibatkan partisipasi publik dalam bidang politik. Namun di sisi lain adalah mekanisme sistematis yang dirancang dalam rangka membungkam publik sehingga mereka tidak punya banyak pilihan. Singkatnya, apakah pemilihan umum adalah praktik demokrasi? Demokrasi bukan sekadar ritual memilih perwakilan dalam periode tertentu. Tentu kita tidak ingin memilih “penguasa” dalam arti dengan segala kesadaran, yaitu mereka yang menguasai segalanya. Namun mereka adalah para pejuang aspirasi dengan mandat kedaulatan yang mereka genggam. Jadi, demokrasi adalah jalan lebar yang seharusnya padat dengan ide-ide perubahan baik sebelum maupun sesudah pemilihan umum.

Kita memang mendapat hak memilih pemimpin/perwakilan, namun tidak memiliki kuasa “menentukan” siapa yang sebenarnya layak memimpin/mewakili. Mekanisme politik adalah “alam gaib” bagi masyarakat awam yang keberadaannya seringkali memunculkan penampakan-penampakan yang mengagetkan. Untuk hal semacam itu, kita rasanya sudah tidak kaget lagi. Rakyat memang dikehendaki untuk berdaulat dalam demokrasi, namun saat ini kedaulatan itu sepertinya tidak lebih seluas bilik suara. Apakah publik bisa menentukan pemimpin yang benar-benar mereka butuhkan/kehendaki? Apakah publik juga masih tetap berdaulat penuh atas kendali mereka apabila suatu saat yang dipilihnya melakukan pelanggaran etik? Demokrasi yang tidak menjadikan rakyat menjadi tuannya mendekatkan politik sebagai arena transaksi pasar gelap kekuasaan yang sarat kong-kalikong.

Lantas apa yang sesungguhnya diperjuangkan oleh seseorang yang bergelut di arena politik? Apakah benar-benar mempertarungkan ide untuk kemaslahatan banyak orang? Atau berjuang untuk kesejahteraan dan kemapanan pribadi? Saya sungguh penasaran apa yang menjadi kebenaran motif seseorang mau mati-matian untuk sesuatu yang tidak dibawa mati. Suatu malam menjelang berganti hari saya berziarah ke salah satu makam sepuh yang terletak di belakang kompleks Masjid Agung Demak. Masyarakat sekitar mengenalnya sebagai Mbah Ratu. Tepat di seberang ruang makamnya terdapat pusara Baruklinting, sosok yang pada masa hidupnya diasuh oleh Mbah Ratu. Tidak ada catatan tertulis perihal riwayat tokoh-tokoh tersebut. Berdasarkan keterangan lisan dari juru kunci, Mbah Ratu merupakan sosok yang dituakan dan menjadi destinasi wisata religi khususnya bagi mereka yang memiliki “hajat politik”. Sebenarnya pengunjungnya tidak hanya datang dengan motif hajat itu saja, banyak yang berziarah dengan motif “silaturrahim”.

Pada malam itu kebetulan saya mendapati peziarah yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala desa. Kedatangannya didampingi tim sukses tidak lupa membawa uba rampe untuk selamatan di sekitar makam. Dengan dipandu juru kunci, calon kepala desa melantunkan doa-doa yang dirapalkan secara khusyu’. Begitu prosesi selesai, semua orang di sekitar cungkup makam Mbah Ratu diajak makan bersama. Menurut beberapa sumber, Mbah Ratu memiliki nama asli Nyai Siti Aminah, ada pula yang menyebutkan beliau bernama Nyai Utari. Namun nama lain yang paling populer di kalangan masyarakat adalah Nyai Lembah Manah. Saya penasaran dari mana para peziarah mendapatkan informasi perihal keberadaan makam beserta potensi karomah yang diharapkan berpihak pada terwujudnya hajat hidup mereka? Beberapa diantaranya mengetahui keberadaan lokasi tersebut melalui informasi lisan oleh orang-orang yang pernah ngalap berkah. Atau mereka mendapat petunjuk dari pembimbing spiritual para peziarah untuk berkunjung ke Mbah Ratu. Yang pasti, Mbah Ratu/Nyai Lembah Manah tidak memiliki popularitas sebagaimana tokoh Raden Patah atau Sunan Kalijaga yang makamnya terletak tidak terlalu jauh. Lantas apa yang menarik dari sosok Mbah Ratu/Nyai Lembah Manah bagi para peziarah?

Perhatian awal saya langsung tertuju pada nama yang disematkan kepada tokoh tersebut. Tradisi mengunjungi makam Mbah Ratu sudah berlangsung lama, namun tidak ada catatan pasti perihal riwayat kapan itu dimulai. Semua kisah ditularkan melalui tradisi lisan/tutur yang memang menjadi cara turun temurun bangsa ini meriwayatkan kisah. Istilah ratu dan lembah manah merupakan dua hal yang berbeda namun dapat menjadi satu kesatuan yang manunggal sehubungan dengan bagaimana seseorang seharusnya berperilaku. Istilah ratu secara awam diketahui sebagai seseorang berjenis kelamin perempuan yang sedang menjalankan kekuasaan di wilayah tertentu. Namun realitas nomenklatur menunjukkan istilah ratu bukan hanya merujuk pada perempuan penguasa, misalkan ada lakon pewayangan Petruk dadi ratu yang pasti bukan berarti Petruk menjadi seorang perempuan.

Jika penguasa dari negeri Timur Tengah mendapat julukan sultan, dari peradaban Hindustan menyebutnya sebagai raja, maka dari Nusantara khususnya Jawa menyebutnya sebagai ratu. Para penguasan kerajaan yang ada di Jawa pada masa klasik banyak menggunakan sebutan ratu dalam gelar yang disandangnya, seperti Ratu Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya dari Majapahit) atau Ratu Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno. Namun pada peradaban modern istilah ratu disamapadankan dengan queen yaitu perempuan penguasa yang memimpin pemerintahan bercorak monarki. Baik laki-laki maupun perempuan, istilah ratu bermakna penguasa. Seorang penguasa tidak hanya merujuk pada kata benda tanpa predikat atau karakteristik yang melekat pada benda tersebut. Apa yang paling ditonjolkan dari seorang penguasa? Sifat-sifat apa yang ingin dijadikan sebagai corak dominan dalam berhadapan dengan yang dikuasainya? Apakah sifat maskulinitas atau feminitas yang ingin dipertunjukkan di hadapan khalayak? Berdasarkan perbendaharaan sifat penguasa yang paling dicintai oleh rakyat manapun di dunia ini adalah penguasa yang “adil”. Penguasa yang adil tahu persis kapan “maskulin” serta kapan “feminim”. Saya tidak ingin mengatakan bahwa itu adalah pembiasan terhadap orientasi gender seorang penguasa, atau mengaburkan orientasi seksual sehingga memicu hujatan “kaum normatif garis keras”. Tidak perlu menjadi perempuan bagi seorang laki-laki untuk menunjukkan kelemahlembutan, tidak perlu bertransformasi seksual menjadi laki-laki bagi seorang perempuan untuk menunjukkan “kejantanannya”. Ratu yang adil tahu persis kapan dan bagaimana dirinya harus mengaktifkan “saklar” maskulinitas dan feminitas dalam ruang kesadarannya.

Julukan lain Mbah Ratu adalah Nyai Lembah Manah. Saya coba terangkan pelan-pelan. Lembah adalah suatu bentuk permukaan bumi yang rendah dan memanjang, biasanya terletak di antara dua bukit atau pegunungan. Dalam bahasa Jawa, kata “manah” memiliki arti yang cukup dalam dan beragam, tergantung pada konteks penggunaannya. Secara umum, “manah” dapat diartikan sebagai “hati” atau “perasaan”, tetapi maknanya bisa lebih luas. Lembah manah merupakan istilah kiasan yang mengacu pada dua unsur dalam satu kesatuan makna yaitu “rendah hati”. Kemudian, bagaimana jika unsur-unsur itu dipadukan dalam sebuah frasa yang merujuk pada seorang penguasa dengan lekatan predikat yang disandangnya? Maka, frasa baru yang muncul adalah Ratu Lembah Manah atau bermakna “Penguasa yang rendah hati”. Mudah bukan? Tidak! Seseorang yang dalam kedudukan sosial tinggi harus “merendahkan hatinya” untuk mendapat simpati dari rakyatnya, terlebih berkah dari Sang Pencipta. Sekarang sudah mulai mengerti kan mengapa calon penguasa perlu sowan ke Nyai Ratu Lembah Manah?

Lembah manah adalah sifat yang memungkinan seorang ratu lebih dari sekadar yang dikiaskan oleh Machiavelli, “yang dicintai sekaligus tidak dibenci”. Rumusnya sederhana, “rendah hatilah” maka dicintai, “tinggi hatilah” maka dibenci. Tidak ada seorangpun yang betah berhadapan dengan orang yang “tinggi hati”, termasuk dia yang tidak mau “rendah hati” itu sendiri. Mengapa seorang ratu perlu merendahkan hatinya? Jawabnya adalah perlunya kesadaran bagi dirinya bahwa ada penguasa yang lebih tinggi, yaitu rakyat dan Tuhan. Rakyat adalah kaum yang perlu mendapat prioritas pengayoman, sebagaimana Tuhan mengayomi segenap makhluk ciptaan-Nya. Jadi, manusia bukan merupakan pengganti Tuhan sebab Dia tidak akan terganti. Manusia adalah kepanjangan sifat Tuhan Yang Maha Berkuasa, sementara manusia hanya diberi kebenaran secuil saja untuk menjalankan kekuasaan. Dengan demikian, seorang ratu yang lembah manah adalah satria pinilih yang dikehendaki Tuhan untuk mengajak rakyat hidup dalam koridor kehendak Tuhan Yang Maha Adil. Jika Anda berkata “Kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan”, maka argumen tadi dapat dijadikan landasan. Dan kabar baiknya adalah kekuasaan yang dijalankan dengan cara seperti itu dipastikan tidak mudah dibajak oleh sekumpulan “makelar picik” yang mencari kesejahteraan pribadi di jalur politik.

 

 

Semarang, 31 Januari 2025

 

Pengasuh Kalatara Channel