Konsumerisme dan arus pengetahuan adalah dua mekanisme yang turut memoles wajah antroposen dalam 70.000 tahun terakhir. Itupun yang tampak oleh indera-indera manusia. Bagaimana dengan yang tidak tampak? Manusia telah sampai pada “zaman silikon” setelah menuntaskan periode sebelumnya. Namun masih banyak yang tetap menggunakan “batu” dan “besi” untuk mengobarkan api kemanusiaan yang tidak mudah dipadamkan. Api amarah, api cemburu, api curiga. Semua itu juga bisa melelehkan unsur batu dan besi dalam diri manusia yang kemudian turut membara.
Berikutnya batu dan besi menjadi alat pelontar yang menunjukkan sisi pecundang seseorang yang tidak berani berpapasan wajah dan bersua pandangan. Lempar batu sembunyi tangan, besi-besi disulap menjadi amunisi serta perangkat mematikan lainnya yang membunuh secara lebih efisien. Ironisnya, beberapa mengibarkan panji “atas nama perdamaian”. Masa “slow living” pada periode purba tidak menunjukkan peperangan yang kolosal dan mengerikan jika dibandingkan dengan era “Barbarian abad 21”. Mengapa manusia sulit mencapai “nirwana”? Karen Armstrong dalam bukunya berujudul compassion mengartikan “nirwana” sebagai “memadamkan”, bukan wujud aspirasi dunia indera yang mungkin selama ini hanya berorientasi pada kawasan perut dan sekitarnya.
Di masa yang mudah “menyala” sekarang, “pemadaman” berkerabat makna dengan kegelapan. Mengapa manusia cenderung tidak menyukai bahkan takut “kegelapan”? Padam dan gelap, suatu mekanisme sebab dan akibat yang sesungguhnya berpotensi menjadi siklus “cakra manggilingan”, suatu gejala dinamis yang menuntun pada kebijaksanaan. Istilah “nirwana” kerap dipadankan dengan “surga” atau “jannah” yang lebih dimengerti sebagai kata keterangan tempat, bukan sebuah keadaan/kondisi atmosfer spiritualitas manusia. Di nirwana, surga, jannah, manusia menjumpai kenikmatan yang selama ini dibayangkan pada masa sebelumnya, periode ketika belum bersua dengan kematian.
Kemudian apa yang dimaksud nikmat itu? Apakah Anda dilayani secara full service oleh bidadari? Awet muda dan tidak mengalami kematian? Atau dengan bebas dapat mengonsumsi semua hal yang sebelumnya dilarang? Bagaimana jika tidak terlalu fokus pada semua aspirasi itu dengan cara “memadamkan”? Mungkin itulah jalur “taqwa”, sebisa mungkin menjalankan yang dapat dilakukan, baik itu perintah melakukan maupun untuk tidak melakukan. Nirwana dapat ditempuh melalui ritus upawasa. Atau istilah lainnya jannah dapat diraih dengan shaum. Meskipun mungkin masih ada jalur-jalur lain. Surga dalam lingkungan kebahasaan adalah terjemahan dari jannah, yang sebenarnya berasal dari kata lengkap swargaloka. Namun mari kita keluar dari “syurga” dulu.
Kita mungkin jarang merenungkan bahwa penderitaan adalah kebahagiaan yang menyamar, cahaya terang yang sejenak menjelma sebagai kelabu. Apa yang ramai pada tayangan komersial televisi menjelang atau ketika bulan “upawasa”? Info jadwal shalat tarawih dan tadarus seluruh Indonesia atau iklan aneka sirup dan produk-produk konsumsi lainnya? Apakah semua itu menggiring kita untuk “memadamkan” atau semakin “menyalakan”? Bulan Ramadhan adalah istilah lain untuk meningkatkan aktivitas konsumsi dan menderaskan arus pengetahuan untuk menuju ke sana. Tentu itu untuk semakin membuat “menyala” di tengah redupnya kepercayaan masyarakat terhadap pihak pemegang monopoli atas hajat hidup orang banyak. Menjelang puasa, api itu semakin membara.
Padahal mungkin maksud Tuhan tidak seperti itu. Beragama adalah “dondonmana jlumatana kanggo seba mengko sore”. Manusia ada kecenderungan selalu merasa “pagi” dalam hidupnya, sehingga tidak pernah menikmati keremangan senja dan keheningan malam. Padahal semua itu juga keindahan. Kesibukan harian membuat pakaian kita compang-camping sehingga tidak sadar beberapa bagiannya terkoyak atau semuanya tercerabut dari badan kita. Namun kita tidak terima jika dikatakan “gila”, sebab merasa “ketelanjangan” adalah keindahan yang orang lain “berhak menikmati”. Ruang publik adalah ruang privasi yang “salah parkir”, sehingga ketika aurat terumbar di jagat maya dengan “slay” nya berkata “itu privasi saya”. Hari ini sensual, lain hari tampak “syar’i” pada unggahan Instagram di hadapan Ka’bah.
Itulah sekitar kita, mungkin “nirwana” masih terlalu jauh selama kanan kiri Anda adalah potensi yang membuat api semakin “menyala”, “jannah” pun masih terlalu gersang sebab belum memiliki kecapakan yang mumpuni untuk mengelola “drainase syahwat” yang masih membanjiri hulu kanal-kanal kesadaran/ketidaksadaran. Jika lapar dan haus membuat kita semakin memiliki energi yang lebih besar untuk “balas dendan”, maka rute kita masih panjang untuk “mudik” ke situasi asal kita. Yaitu, ketika Tuhan menciptakan alam raya ini dalam realitas penuh damai dan cinta, dan tentunya bergembira.
Jumat, 28 Februari 2025