Minggu yang lalu saya berkunjung ke rumah saudara di Dukuh Bugangan Desa Sidorejo Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Sebelumnya saya telah mendengar bahwa dukuh yang dihuni kira-kira 100 kepala rumah tangga itu tergenang banjir. Tetapi yang tidak saya duga adalah banjir itu ternyata sudah terjadi sejak bulan Desember lalu. Itu artinya mereka telah mengalami banjir selama tiga bulan.
Kami serombongan para tamu duduk di teras rumah. Kaki kami terendam air banjir. Ada ikan-ikan yang berenang di kanan-kiri, di sela-sela kaki kami. Kata Pak Dhe, banjir begini baru terjadi tahun ini. Pada tahun-tahun yang lalu banjir memang datang, tapi tidak pernah lebih dari dua minggu.
Selama tiga bulan itu air tidak pernah benar-benar surut. Setiap mau surut mendung datang lagi dan hujan turun. Air yang menggenangi rumah, jalan pekuburan, tambak mereka itu adalah air hujan bukan air rob. Air hujan yang tidak bisa keluar.
Begitulah kondisi daerah pesisir Demak. Beberapa tempat yang lain juga mengalami hal yang sama. setelah dicek melalui aplikasi yang mampu mengukur ketinggian tanah dari permukaan laut memang kondisi permukaan tanah di Demak berubah-ubah dari tahun ke tahun. Banyak yang turun ada pula yang naik. Dukuh Babalan Desa Sidorejo Kecamatan Sayung Kabupaten Demak yang saya ceritakan tadi setelah dicek ketinggiannya adalah 0 meter dari permukaan laut. Desa-desa di sekitarnya ada yang satu meter, ada yang dua meter dari permukaan laut.
Dari postingan di sosial media yang diunggah oleh teman-teman yang ditinggal di daerah Sayung seperti di Timbulsloko dan sekitarnya, ada anak-anak yang berangkat sekolah menggunakan sepeda melewati jalan yang tergenang air. Artinya apa, hal ini menunjukkan bahwa hari-hari terakhir ini kondisi semacam ini tidak bisa dihindari.
Meninggikan jalan, meninggikan rumah dengan menimbun tanah bukan solusi. Karena ternyata permukaan tanah selalu turun atau rob selalu meninggi dari waktu ke waktu. Lalu apa yang perlu dilakukan? Masyarakat pesisir Demak yang terkena banjir yang terkena rob kiranya memulai pola hidup baru.
Hidup di sebuah rumah yang selalu tergenang banjir tentu tidak nyaman dan tidak sehat. Kalau hal itu hanya terjadi sehari dua hari tidak masalah, tetapi ini terjadi sudah berbulan-bulan. Sedangkan berpindah tempat tinggal juga bukan masalah yang gampang. Selain butuh biaya yang banyak karena harus mencari tanah di luar daerah, juga ada masalah kultural yang tidak bisa dianggap enteng. Misalnya di daerah itu tertinggal makam orang tua, di tempat itu juga sumber penghasilan. Di sana masyarakat memelihara ikan di tambak, atau mencari ikan di laut.
Pola hidup baru adalah mengubah bentuk rumah, mengubah bentuk jalan, mengubah bentuk sekolah, tempat ibadah, dan lain-lain. Rumah, tempat ibadah, sekolah yang tadinya tembok dengan batu bata sudah mulai harus dipikirkan untuk diubah menjadi rumah panggung dari kayu. Rumah panggung lebih fleksibel karena ketika permukaan air naik maka rumah panggung-panggung ini akan lebih mudah dinaikkan pula. Begitu juga dengan jalan-jalan yang mulanya cor diubah menjadi jalan panggung. Resikonya mobil tidak bisa masuk. Artinya mobil harus ditaruh di luar kampung yang lebih aman.
Jika pola hidup baru ini bisa terlaksana tidak menutup kemungkinan justru ini akan menjadi keunggulan. Jika kampung tertata rapi, bersih, dan indah ini akan berpotensi menjadi kunjungan wisata. Tentu saja ini perlu dukungan pemangku kebijakan dan pemahaman masyarakat. Rahayu, rahayu, rahayu.