A silent move that we make (suatu langkah diam-diam yang kita lakukan)
When we awake (saat kita terjaga)
Langkah apa yang diam-diam kita lakukan saat kita terjaga? Langkah yang penuh ambisi penguasaan, langkah yang sarat kerakusan atau langkah diam-diam saling jegal dan saling menikung?
Oh no (oh tidak)
Mestinya itu tak pernah ada dalam dada dan jiwa kita saat merasakan getaran langkah kita. Mestinya tak perlu ada dalam pikiran ketika menerima informasi dari mata, hidung, telinga, mulut dan indra lainnya. Mestinya langkah kita berjalan penuh ketulusan dan kemurnian, baik diam-diam maupun terang-terangan.
My conscience (suara hatiku)
Come and go’in come and go (datang dan pergi silih berganti)
A trouble mind and twisted hand (pemikiran yang kacau dan tangan yang terkepal)
We use everytime this everytime (kita memakai momentum itu di tiap saat)
Sementara dalam dada, hatiku bersuara ketika merasakan langkah diam-diam kita, dalam keadaan sadar. Ada yang datang dan pergi, silih berganti, yakni pemikiran dan cara berpikir yang kacau, juga tangan yang terkepal. Kita sendiri memanfaatkan momentum itu setiap saat. Momentum menebar kekacauan cara berpikir, hasil pemikiran kepada segala yang berada di luar kita sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan secara kontinuitas, istiqomah, silih berganti datang dan pergi. Momentum untuk mengepalkan tangan, gebuk yang tidak seperti kita, marah kepada yang tidak sama dengan kita. Setiap ada momentum, setiap ada peluang, setiap saat, tiap waktu, kita melakukannya.
All the sentimental feeling (semua ketulusan yang terasa)
That sometimes makes our heart burning (itu kadang menjadikan hati kita terbakar)
Ketulusan apa yang membuat hati kita terbakar? Tulus melakukan apapun demi ketulusan pasangan. Lalu terbakar dalam kebaikan atau dalam keburukan? Saya rasa ketulusan pasanganmu melakukan salah satu dari keduanya atau keduanya sekaligus adalah resiko dari hatimu yang terbakar oleh rasa tulus pada kalian.
We surrender to a strong desire (kita serahkan pada hati yang kuat)
Ignorant to the needs of other (yang tak memperdulikan keinginan orang lain)
Sebab kita sudah memasrahkan kekuatan hati tanpa mempertimbangkannya dengan akal. Sehingga apapun yang berlangsung adalah laku yang berlandaskan pada ketulusan rasa dari “kita” untuk kita sendiri. Kita melupakan, acuh, dan tak peduli dengan keinginan, kebutuhan, kemauan orang lain.
Lil whisper of lil voices (bisikan lirih dari suara kecil)
That call when we make desperate choices (itu memanggil ketika kita memilih berputus asa)
Bisikan lirih dari suara kecil itu memanggil ketika kita memilih berputus asa. Bisikan lirih yang seperti apa? Seperti bisikan dari malaikat atau setan yang diimajinasikan oleh sinema-sinema bangsamu kah. Atau bisikan lirih berupa detak jantung, aliran darah di denyut nadi serta dengus nafas yang terhembus dari hidung. Suara kecilnya siapa yang memanggil tatkala kita sedang mengalami keputus-asaan? Suaramu sendiri, suara lain dari luar dirimu atau suara sejati dari dalam dirimu?
Are we that oblivious (apakah kita sungguh tak menyadarinya?)
So insensitive (jadi kita tak berperasaan)
Jadi meski bisikan yang begitu lirih dari dalam jiwa saat kita memilih berputus asa, tak mampu menyadarkan kesadaran kita. Itulah momentum saat kita menjadi manusia yang tak peka, tak merasakannya dan tak berperasaan. Apa sebegitunya kita ini?
So many choices to be made (begitu banyak pilihan untuk berhasil)
So lil time to decide (begitu sedikit waktu untuk memutuskannya)
So lil guilt on our side (begitu sedikit rasa bersalah pada kita)
Padahal kita memiliki banyak pilihan untuk berhasil keluar dari peristiwa-peristiwa sebelum kita so insensitive. Sebab kita hanya memiliki sedikit waktu untuk memutuskannya. Sebab urip mung mampir ngombe saja. Sementara sedikit sekali dari kita yang memiliki keberanian, kemampuan dan kemauan untuk merasa bersalah.
Begitulah kiranya yang bisa saya rasani dari lagu Letto, So Insensitive. Sebab kemampuan saya menafsirkan teks berbahasa asing belum memadai, apalagi bahasa inggris. Maka yang bisa saya tempuh hanya sebatas ngerasani, yang dalam pendekatan ilmiyah tidak bisa diukur kebenarannya. Tapi kebenaran kan letaknya di dapur, jadi jika pun saya memiliki kebenaran mengenai lagu tersebut, tidak mungkin saya suguhkan kepada engkau semua. Yang bisa saya sajikan adalah kebaikannya saja dan semoga terjadi keindahan dalam komukasi literer ini.
Secara garis besar dari rasan-rasan lagu yang masuk dalam album pertama Letto bertajuk Truth, Cry and Lie yang dirilis 12 desember 2005 adalah sindiran terhadap kita atau kesadaran dari sikap Letto sendiri yang tidak mengedepankan kepekaan/rasa peka dalam interaksi sosial. Hal itu saya tangkap dari teks a silent move that we make, a trouble mind and twisted hand, we surrender to a strong desire, ignorant to the needs of other, are we that oblivious dan so insensitive, yang bergejala dan mengindikasikan sifat dan sikap yang tidak baik dan tercela.
A silent move that we make adalah sikap eksklusifis, menutup segala langkah dan sikap yang berasal dari luar diri kita, sehingga pergerakan yang kita lakukan hanya dalam batas langkah diam-diam. Hal itu bisa kita rasakan ketika kita hidup di perumahan perkotaan, yang satu tetangga dengan tetangga lainnya tidak saling tahu dan tidak mau tahu menahu mengenai urusan satu sama lain. Hal itu juga memiliki efek samping akan timbulnya ignorant to the needs of other. Akibatnya lagi adalah a trouble mind, menyiratkan ada kesalahan dalam berpikir yang sudah dimulai sejak cara berpikir kita yang kacau, yang kadang memicu and twisted hand, terkepalnya tangan. Apa yang engkau pikirkan ketika berbicara tangan yang terkepal? Kekejaman, penindasan, penjajahan, terorisme atau yang lainnya?
Konsep sebab-akibat juga dipakai Letto dalam lagu ini. Bahwa akibat yang berupa sikap tidak baik di atas disebabkan oleh sifat yang tidak baik dari cara berpikir. We surrender to a strong desire, salah jika kita sebagai makhluk sosial hanya bertumpu pada cara berpikir menyerahkan segala permasalahan hanya kepada kekuatan hati saja tanpa dibarengi kekuatan akal. Itulah yang terkadang timbul pertanyaan are we that oblivious, apakah kita sungguh tak menyadari hal tersebut? Kalau memang tidak mampu menyadari artinya so insensitive, kita tidak peka, tidak berperasaan.
Selain konsep sebab-akibat, Letto juga menyuguhkan narasi yang baik dalam lagunya. Yakni narasi pergolakan batin dan pikiran manusia sebelum melakukan sifat dan sikap yang tidak baik tersebut. Hal itu bisa kita lihat di bait pertama dalam teks oh no, di bait kedua dalam teks my conscience, come and go’in come and go dan we use everytime this everytime. Di bait ketiga dinyatakan dalam teks all the sentimental feeling, that sometimes make our heart burning, sementara di bait keempat dalam teks lil whisper of lil voices, that call when we make desperate choices. Serta di bait kelima dalam keseluruhan baitnya.
Kalau saya teruskan membahasnya dan menunjukkan secara detail mengenai lagu so insensitive, maka tidak akan terjadi ngerasai dan rasan-rasannya. Biarlah tetap berupa rasan-rasan dan tidak menjadi suatu karya ilmiyah. Sebab saya sendiri lahir dari budaya ngerasani, lantaran saya hanya hidup di kultur kampung dan desa, bukan duduk di bangku instansi pendidikan. Sebelum engkau bertanya “bukan dari instansi pendidikan tapi kok mampu menerjemahkan lagu tersebut?”, saya akan jawab bahwa yang menerjemahkan lagu ini adalah adik saya, Sajidah Ulfa dan saya berterimakasih padanya karena mau meluangkan waktunya.
Terakhir, jika ada suatu ketidak-baikan dan ketidak-indahan dalam tulisan ini, maka engkau perlu mempertanyakan beberapa pertanyaan dalam dirimu sendiri. Pertama, bisa jadi ada ketidak-benaran dalam penyusunan lagu ini. Kedua, bisa jadi ada yang salah dalam penerjemahan lagu ini. Ketiga, sangat memungkinkan jika saya dan tulisan ini begitu sesat dalam ngerasani lagu ini. Terakhir, jangan-jangan engkau tidak peka pada dirimu sendiri, sehingga engkau pun kacau dalam menangkap kebaikan dan keindahan yang berasal dari luar dirimu. So Insensitive or sensitive?