Ada beberapa fenomena dengan nuansa dan suasana yang saya tangkap ketika di Kalijagan kemarin(6/7). Suasana berkumpul bersama keluarga kedua. Setelah puas berkumpul bersama keluarga terdekat ketika hari raya, sudah saatnya untuk berkumpul dengan keluarga kedua. Berkumpul dengan keluarga tanpa ada paksaan bermudik–melainkan sesuatu yang lahir dari kesadaran. Bersama dalam lingkaran Kalijagan. Hawa dingin tak menyurutkan niat untuk berangkat, yang kebetulan kebanyakan dari mereka melingkar sekitar pukul 21.00 dimana angin dingin–disebabkan jarak matahari dengan bumi yang paling jauh– musim kemarau mulai berhembus.
Lalu kehadiran kue ulang tahun, yang sungguh tak biasa untuk kami, yang kebanyakan tak pernah merayakan hari ulang tahun. Tak enak hati rasanya usia bertambah tapi manfaat yang diberikan tak lebih dari itu-itu saja. Tapi untuk tidak menyakiti hati yang memberi kejutan, boleh lah sekedar melegakan hatinya. Tentu saja usia sebenarnya ingin dirahasiakan JM untuk yang belum menikah, supaya tak terlalu memikirkan nikah. Tenang, masih lama, santai. Tapi kata seorang dari mereka bilang “tapi nek ra dipikir marai lali”. Eh tapi itu juga belum tentu, karena sebelum satu alasan dibuktikan benar, maka banyak alasan boleh berdiri.
Kemudian ada dari mereka yang asyik bermain game, memiringkan gadjetnya, lebih fokus ke layar gadjet. Sekedar merilekskan pikiran mungkin, pada titik jenuh sementara. Lalu ada orang yang mempertanyakan hal tersebut. Padahal setiap orang juga sudah tahu jawabannya, tahu titik kembali mengenai yang sebenarnya baik. Ada juga seseorang yang ketika dijawab pertanyaannya malah enak ngobrol sendiri. Seperti kata Kang Ali Fathan, di edisi Mei lalu. Tak semua yang didapatkan ilmunya, tetapi kadang juga peristiwanya. Yang telah membuka pembahasan yang mungkin tak ia dengarkan, tapi ditangkap JM yang lain.
Fenomena lainnya, kehadiran seorang ibu yang membawa putranya, usianya masih balita, seolah membuktikan bahwa kabar tentang maiyah, terutama majlis Kalijagan yang benar-benar terbuka telah meluas di kota Demak ini. Ditandai dengan semakin bertambah banyaknya jama’ah yang hadir.
Tak lupa juga saat Mas Yanto berpuisi, dengan bentuk penampilan yang diluar dari kebiasaannya. Kali ini ditambah iringan akustik gitar dari salah satu penggiat Gambang Syafaat. Tambah ciamik. Berdiri di bawah pohon mangga sambil tangannya ikut improvisasi. Improvisasinya seperti kemarin-kemarin, banyak sekali memejamkan mata, karena puisinya banyak sekali menceritakan peristiwa kepasrahan.
Sampai larut malam orang-orang itu enggan tidur, seperti jalan Pantura depan, tempat terselenggaranya Kalijagan, yang tak pernah tidur. Lalu untuk apa mereka mau berlarut-larut? Kalau bukan karena cinta. Untuk mencari jati dirinya. “Akankah seusai pulang kita akan sadar akan pergantian generasi itu?” Seperti yang dikatakan Pak Nadhif Alawy. Pada jalan yang sunyi sepulang maiyahan mudah-mudahan akan selalu terngiang apa yang dikatakan para pembicara. Semoga begitu.