Oleh: Joko Purnomo
Sore itu, saat perut mulai menuntut haknya untuk segera dipenuhi, aku mencoba sedikit memanjakannya dengan mampir di sebuah warung makan yang baru berdiri di kotaku itu. Warungnya bertuliskan “wik chiken”.
“Selamat sore pak, silahkan mau pesan apa pak?” Suara mbaknya yang berdiri di depan mesin penghitung.
“Ayam mbak.” Jawabku agak sedikit nervouse karena belum paham cara pesan makanan di warung makan yang baru itu.
“Paha bawah, sayap atau dada pak?” tanya mbaknya.
“Yang murah yang mana mbak?” jawabku dengan lontaran pertanyaan karena aku membawa uang yang tidak terlalu banyak dan takutnya kurang.
“Paha bawah sama sayap pak.”
“Ya sudah paha bawah saja.”
“Pakai nasi pak?”
“Iyalah masa pakai lontong.” aku mencoba sedikit mengajak bergurau untuk mengurangi nervouse-ku.
“Minumnya apa pak, teh, jus, atau … ?”
“Teh hangat saja.” Sebelum selesai menyebut nama-nama minuman lainnya, aku dengan tegas menjawabnya.
“Ada yang lainnya pak?”
“Sudah itu saja mbak.”
“Baik pak, tunggu sebentar ya pak, silahkan duduk.”
Sambil melangkah menuju tempat duduk yang berdampingan dengan meja makan, aku melihat gambar-gambar di sekeliling ruangan. Aku amati satu persatu harga yang tertera di gambar menu itu. Akhirnya aku dapati gambar menu yang pas persis sama yg aku pesan tadi, di situ tertulis PAKET HEMAT 1 (paha bawah, nasi + es teh, Rp.15.000,-).
Alhamdulillah, dalam hatiku bersyukur, karena uang yang aku bawa cuma Rp. 20.000,-. Merasa sudah aman administrasi, duduk pun ‘tak gagah-gagahke’ biar terlihat seperti sudah terbiasa makan disitu.
Tak lama yang dinanti akhirnya datang. “Silahkan pak.” Ucap mbaknya sambil menyuguhkan masakan yang aku pesan tadi.
“Terima kasih mbak.” sahut ku. Karena perut ini sudah tidak sabar, hidangan pun aku sikat habis.
Setelah selesai melakukan ritual melestarikan perut, akupun beranjak menuju kasir, dengan hati berkata “Lumayan masih sisa Rp. 5.000,- buat beli rokok”.
“Sudah pak?”
“Sudah mbak, berapa mbak?”
“Paha bawah + nasi + teh.” Suara sang kasir sambil memijit-mijit mesin penghitung.
“Jadi semuanya Rp.19.500,- pak.”
“Lhoo… ndak salah ngitung itu mbak.” Potes kecil ku karena beda dari apa yg aku bayangkan.
“Ndak pak, bapak kan pesan paha bawah 1 + nasi 1 + teh 1 kan?”
“Iya mbak.”
“Iya benar pak, jadi semua Rp.19.500,-“
“Itu yg digambar kok tulisannya Rp.15.000,-“
“Oh itu paket pak, kalau bapak pesannya yang PAKET HEMAT 1 harganya Rp.15.000,-, karena bapak pesan sendiri-sendiri, jadi kami ngitungnya juga sendiri-sendiri pak.”
“Oh gitu ya.”
“Iya pak.”
“Yowes ini uangnya mbak.”
“Ini pak kembaliannya, terima kasih pak.”
“Iya mbak sama-sama.”
Aku pun keluar dari warung itu sambil bergumam dalam hati “Ooo Guwebluk,,, uwong nek kemplu kok ancet iso ae dikadali.” Dan aku pun melaju dengan motorku sambil lirih-lirih aku menyanyikan lagu Sheila on 7 “Akuuuuuu… Pulaaaaaaaang… Tanpaa deendaaaaaammm… Ku terimaaaaa… Kekalaaaaaahankuuuuu…. Uwouw”