Ada sebuah peristiwa yang tidak mengenakan terjadi pada seorang teman, dia dikeroyok oleh beberapa orang karena kesalahpahaman. Karena kejadian itu, dia sampai masuk rumah sakit. Setelah tahu itu salah paham, Si Pengeroyok merasa bersalah. Lalu Si Pengeroyok meminta bantuan lurah dan tokoh masyarakat desa agar masalah tersebut dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan sehingga tidak sampai ke ranah kepolisian. Singkat cerita, Si Pengeroyok beserta tokoh masyarakat tersebut menemui korban dan keluarganya untuk meminta maaf. Begitulah, Si Pengeroyok dengan segala cara berusaha membuat korban legawa. Ekspansi adalah sebuah usaha untuk menyentuh ruang batin korban, agar memberi maaf tanpa memperpanjang masalah. Lantas, apa hubungannya dengan Kalijagan? tidak ada.
Dengan tersambungnya ruang batin dari contoh di atas, tentunya apa yang diharapkan terjadi. Mengesampingkan ego, solusi akan terjadi. Kadang banyak orang pintar bicara dengan ego tanpa ada saling usaha menyentuh ruang batin, maka bukan solusi yang didapat tetapi malah benturan. Di Maiyah, ada banyak latar belakang yang hadir. Sejak awal mereka datang dengan membuang ego. Layaknya air mengalir secara otomatis mengisi ruang-ruang kosong, sambungan-sambungan akan bersahutan. Jika sentuhan ruang batin bisa menjadi solusi konflik, tentunya keadaan tanpa konflik akan terasa lebih indah karena harmoni.
Seperti halnya sholat jamaah. Jika imam khusyuk dan makmum tidak khusyuk, maka makmum akan mendapat pahala khusuknya imam. Jika imam tidak khusyuk dan salah satu makmum ada yang khusyuk, maka semua jamaah akan mendapat pahala seperti makmum yang khusyuk. Jika semua jamaah tidak khusyuk, maka Malaikat akan memohon kepada Allah untuk meminta pahala disebabkan berkah mereka berjamaah. Sepertinya tidak cocok juga jika membandingkan Sholat dan Maiyah. Kalau sekarang orang membandingkan tidak ‘apple to apple’, memang seperti itu tetapi berprasangka baik saja kepada Allah dengan nama Rohman Rohim-Nya. Seperti kata Rumi “Jika engkau tidak bisa mengenal Tuhanmu dengan ilmu maka kenalilah dengan prasangka yang baik”.
Sebagian dari Anda pasti pernah merasakan ruang batin di masa muda, yaitu ketika berkirim surat kepada kekasih melalui Pak Pos. Menulis surat butuh jeda yang panjang ketika menerima balasan dari kekasih, sehingga jarak dan waktu menjadi lebar dan luas untuk diisi rindu. Kembali semakin jauh, yaitu ketika Bapak Adam dan Ibu Hawa mengalami ruang batin yang diisi rindu, ketika dipisah Allah dengan jarak dan waktu lebih lebar dan luas. Ternyata rindu itulah ujian pertama kali manusia diturunkan ke bumi. Tetapi, jarak dan waktu telah dilipat di dunia maya. Ruang batin semakin berkurang atau mungkin hilang, hanya materi wawasan yang membesar.
Ada esensi yang unik di Maiyah, kenapa? Seperti diibaratkan melawan arus yaitu ketika banyak yang berlomba-lomba membesarkan maupun menonjolkan identitas personal, maka di Maiyah identitas itu harus di tekan bahkan dibuat tidak terlihat baru mampu berpikir obyektif. Saya jadi teringat filosofi dari Sunan Kalijaga yaitu “Dadio opo-opo nanging ojo dadi opo-opo”. Kalau diartikan kurang lebih seperti ini: jadilah apa saja tetapi jangan jadi apa-apa. Seperti air putih, minuman paling dibutuhkan, semua orang mau meminum air putih ketika tidak ada identitas rasa maupun warna. Namun ketika air butih itu sudah menjadi kopi, maka penikmat susu juga enggan meminum kopi dan sebaliknya. Maka Waliyullah Sunan Kalijaga maupun Mbah Burhanuddin adalah manusia pilihan yang tidak mempunyai pondok pesantren.
Di Maiyah pertemuan srawung antar ruang batin terjadi. Lalu menghasilkan kerinduan jika jauh, dan kemesraan jika dekat. Mari belajar menangkap batin seseorang sehingga dan semoga menjadi manusia yang tidak gumunan dengan hal yang sedang viral.