Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Kliwon, 12 Oktober 2018/ 3 Shaffar 1440 | Sedekah Tatal | bagian kedua
Tak lama berselang usai suara tepuk tangan atas suara Bung Karno yang diputarkan Mas Aan. Kang Hajir yang membantu memoderatori acara, memberikan kesempatan kepada Mas Erdi yang hendak mengulas sedekah. Diawali dengan isak tangis, ia berterima kasih kepada Kang Joko yang telah menyanyikan lagu ‘Ayah’. Ia teringat dahulu ketika masih suka membangkang ayahnya, yang mestinya dihormatinya. Ia juga berharap kelak ada yang berkenan memaknai ayah dalam tarap yang sesuai. Setelah sedikit curhat dengan persoalannya, lalu Mas Erdi berujar ‘lega’. Lega sudah memberikan dia ruang bercerita dan berkisah. Jadi kalian kalau memiliki masalah mantan, jangan sungkan-sungkan untuk bercerita di Kalijagan.
Masih dalam suasana sedihnya, dengan suara yang parau, ia kemudian bertanya. “Ketika kita kehilangan uang atau apapun itu, kita bakal bilang ‘anggap saja sedekah’. Apa ngamal itu harus kehilangan dahulu? Kalau sudah kehilangan dianggap sedekah apakah itu sudah pantas?” Tanyanya pertama dengan dua pertanyaan sekaligus. Ia berharap banyak respon yang didapatkannya mengenai persoalan itu. Persoalan yang kedua, sebagaimana yang sering disampaikan Kang Joko Purnomo padanya tiap kali ngopi bareng. Berhubung jarak tokonya berdampingan dengan Kang Joko Purnomo. Mengenai Entekno yang merupakan akronim dari sesudah entek/habis pasti ono/ada, itu bagaimana? Begitulah kiranya yang disampaikan Mas Erdi malam itu.
Sebelumnya, sebelum kehadiran Ajib Zakaria, reporter Kalijagan.com, Mas Dwi dari Komunitas Pecinta Berbagi. Ia menceritakan bahwa Komunitas Pecinta Berbagai setiap hari Jum’at rutin membagikan nasi bungkus kepada fakir, miskin, dhuafa’, yang dibagikan di area Demak (Alun-alun Demak dan Kawasan Kadilangu, biasanya), area Semarang (Barito, Pasar Johar dan sekitaran Kota Lama, biasanya) serta daerah-daerah yang sekiranya membutuhkan bantuan makan, barang sekali. Dan dalam sebulan sekali, kuota pembagian nasi, khusus jum’at pertama, dialokasikan untuk makan bersama jamaah Kalijagan seusai Maiyahan.
Mengenai aliran dana yang didapat dan keluarkan, ia juga tidak menyangka bahwa selalu saja ada dana untuk mengadakan nasi bungkus tiap bulannya. Tentu dana yang didapat bukan dari menang tender pemerintah, pencucian uang hasil reklamasi, misalnya. Korupsi pengadaan barang dan penggelonggongan daging, umpamanya. Atau dari hasil suap bangun gedung-gedung, contohnya. Aliran dana itu, tidak terduga, tidak disangka datangnya darimana, namun selalu ada. Yang ia jaga dengan teman-temannya adalah niat untuk istiqomah berbagi, meski sekadar nasi bungkus.
Selain itu, Mas Dwi juga bercerita bahwa orang-orang dalam Komunitas Pecinta Berbagi merupakan orang-orang Maiyah. Komunitas Pecinta Berbagi menurutnya output dari nilai-nilai maiyah yang selama ini mereka dapatkan tiap kali maiyahan. Meski secara nilai dan mesinnya Maiyah, namun maiyah bukanlah komunitas yang menjadi suatu bentuk pergerakan, sehingga tak perlu mengatasnamakan maiyah. Begitu kiranya yang disampaikan Mas Dwi malam itu, dan ia meminta do’a agar Komunitas Pecinta Berbagi selalu istiqomah meski hanya mampu sedekah se-tatal.
Menanggapi Mas Erdi, Mas Nadhif mengemukakan bahwa bisa jadi dengan cara kehilangan, manusia belajar berbagi, bersedekah dan puncaknya bisa ikhlas. Beliau berdo’a semoga nanti tak perlu menunggu kehilangan untuk ikhlas bersedekah dan berbagi. Sementara itu, dalam pandangan Kang Ahyar, kebanyakan kita itu salah konsep mengenai kepemilikan. Bahwa kita merasa memiliki harta, memiliki apapun, termasuk merasa memiliki diri kita. “Padahal sejatinya semua ini pasti kembali kepada yang berhak.” Pungkasnya, seraya disusul sedekah dari Rebana Tanbihun mengajak Jamaah bersholawat bersama. [HBA/ Redaksi Kalijagan.com]