Mukaddimah Maiyah Kalijagan Demak edisi 1 Maret 2019
Kita semua Jamaah Maiyah sedang semakin mengalami kebusukan zaman pada kadar yang semakin tidak terbayangkan sebelumnya. Kita hidup di tengah Peradaban Belatung di mana makhluk-makhluk memiliki kesanggupan dan bahkan mampu menemukan kenikmatan hidup sebagai belatung. Jamaah Maiyah harus berjuang ke dalam diri masing-masing agar jangan pula sampai menjadi belatung di kubangan Maiyah.
Begitulah penutup tulisan Mbah Nun dalam tajuk Kewaspadaan ke Dalam (Di Dunia Belatung). Paragraf tersebut menutup sepuluh poin mengenai kewaspadaan ke dalam diri, dengan garis besar lebih pada kewaspadaan terhadap Emha. Meski begitu, setidaknya perlu kita maknai sebagaimana judulnya Kewaspadaan ke Dalam. Sehingga tidak hanya Mbah Nun, kita, Jamaah Maiyah pun perlu melakukan kewaspadaan itu.
Lalu mengapa dalam paragraf penutupnya beliau menyinggung ‘kita hidup di tengah Peradaban Belatung’. Apa itu belatung? Tanpa perlu penjelasan apanya, tentu kita sudah tahu belatung itu apa. Setidaknya dari belatung kita bisa belajar bahwa makhluk satu ini adalah makhluk yang sangat suka hidup dalam kebusukan makhluk lainnya. Tetapi kita tidak bisa membicarakan pembusukan tanpa melihat suatu kematian yang menjadi peristiwa sebelum pembusukan.
Pertanyaan selanjutnya, apa benar kita tengah hidup di Peradaban Belatung? Gejala dan fenomena seperti apa, sehingga Mbah Nun secara eksplisit menyinggungnya. Adakah di sekitar kita suatu peristiwa pembusukan sebagaimana buah matang yang membusuk—entah kematangannya sebab karbit atau tidak. Sebagaimana bangkai binatang yang mati oleh zaman atau sebab mati dimangsa binatang lainnya. Sebagaimana pula mayat manusia yang makin hari akan tersisa belulangnya. Adakah peristiwa-peristiwa semacam itu, sehingga perlu kita—baik perorangan maupun komunal— melakukan kewaspadaan dalam bentuk mempelajari, memaknai juga memuhasabahinya.
Dalam tulisan lain, Mbah Nun juga memberi klu mengenai Peradaban Belatung. Dalam tulisan Al Hadlidl, beliau menulis: penduduk Negeri ini, terutamanya para pemimpinnya di lapisan atas dan menengah, sudah berubah kemakhlukannya menjadi spesies baru yang sanggup hidup di dalam kebusukan. Bahkan sudah sangat pandai menikmati kebusukan. Uget-uget, set-set, belatung-belatung, beregenerasi dan meregenerasi di sekitarku dan di seantero Nusantara secara dahsyat dengan deret hitung maupun deret ukur.
Dari beberapa bahan mentah, klu dan kunci dari Mbah Nun dalam tematikal belatung, perlu kiranya kita Sinau Belatung dalam Maiyah Kalijagan edisi Jum’at, 1 Maret 2019, pukul 20.00 WIB. Dan yang menarik untuk kita jadikan garis bawahnya ialah kalimat beliau, “Jamaah Maiyah harus berjuang ke dalam diri masing-masing agar jangan pula sampai menjadi belatung di kubangan Maiyah”. Belatung bisa jadi adalah ejawantah mengenai ‘apa’ yang menjadi faktor utama dalam proses pembusukan baik secara nilai, moral, maupun cara berpikir dan berlaku kita. Lebih lengkapnya mengenai belatung sampai berjumpa di Universitas Sultan Fatah, mari sinau bareng, bersama-sama, maiyah. [HBA/ Redaksi Kalijagan.com]