Jika di tiga tulisan sebelumnya di rubrik ini saya membicarakan tentang Demak dan sejarahnya, mengambil ilmu dari sejarah, maka kali ini kita akan membicarakan tuman, hal yang sedang banyak dibincang.
Hari-hari terakhir ini, kita disuguhi meme yang populer dengan kata dalam bahasa Jawa ‘tuman’. Di sana digambarkan satu orang menampar orang yang lain. Kita tertawa menyaksikan gambar itu, padahal disana tersampai pesan yang lain yakni kekerasan. Kita yang ikut menyebarkan meme itu turut pula menyebarkan atau mengampanyekan kekerasan. Ada sebuah mame tuman yang terlewat sadis, terdapat gambar orang membacok kemudian disertai tulisan, “Kaplok-kaplok kesuen, bacok, tuman”. Maksud dari kalimat itu adalah, terlalu lama memukul, bacok saja. Kita dengan enteng menyebarkan kekerasan visual semacam ini tanpa merasa bersalah.
Sejak munculnya internet, meme turut menyebar. Meme menjadi cara berkomunikasi baru pada era ini, meme digunakan dalam berbagai ranah, ranah politik, pendidikan, humor dan lain-lain. Richard Dawkins (1976, h. 189) dalam Allifiansyah (2016) menyampaikan bahwa mame mengacu pada mutasi sebuah gen dalam mereplikasi dan menggandakan diri. Menurutnya, meme adalah bentuk transmisi budaya melalui replikasi ide, gagasan, yang merasuk ke dalam kognisi manusia. Konsep inilah yang diaplikasikan dalam konteks fenomena sosial, khususnya yang terjadi di internet.
Di dalam meme sering muncul candaan sekaligus kekerasan. Kekerasan dan lelucon memang lekat, kita bisa saksikan pada perayaan ultah anak SMA yang menganiaya si anak yang sedang ulang tahun, saat ini dalam zaman youtube konten prank juga sangat diminati. Di televisi, lawakan dengan kekerasan verbal maupun fisik juga banyak terjadi. Membuat tertawa dengan cara kekerasan mungkin adalah cara jitu dan cepat memanen tawa.
Dalam meme tuman terdapat gambar seseorang menampar pipi orang yang lain, kemudian dikasih teks sesuai dengan kehendak hati kita. Gambar ini kemudian menyebar karena digunakan oleh seseorang sesuai kebutuhan profesi, sindiran bagi murid, bos, konsumen dan lain-lain. Menampar atau tindakan kekerasan seperti tergambar dalam meme tuman dalam tradisi Jawa disebut ‘moro tangan’, laku tercela ini bisa dilakukan oleh siapa saja, seperti seorang suami terhadap istrinya, guru terhadap muridnya, orang tua terhadap anak, teman terhadap teman. Moro tangan atau gampang menggunakan tangan, menyelesaikan masalah dengan cara memukul adalah tradisi primitif yang layak dihentikan. Perlu dikembangkan kemampuan dialog di dalam menyelesaikan masalah. Keengganan untuk dialog dan memilih jalan moro tangan yang mengakibatkan banyak masalah muncul seperti kerusuhan di sepak bola dan lain-lain.
Apakah arti kata tuman sama seperti yang digambarkan dalam meme? Tuman merupakan idiom Jawa yang menggambarkan kegiatan berulang-ulang. Tuman hampir mirip dengan ketagihan atau kecanduan. Karena merasa enak makan di warung itu, akhirnya dia tuman dan makan di warung yang sama selama bertahun-tahun. Namun, tuman juga bisa bermakna negatif. Misalnya, orang hutang tidak dibayar, melakukan lagi dan lagi.
Dalam Bausastra Jawa (2001) tuman adalah dadi biasa atau kebiasaan, kesenengan hobi, kemudu-mudu ngrasakake (tuman adalah biasa atau kebiasaan atau menjadi biasa, menjadi kesenangan atau hobi). Di sekitar kata tuman ada kata numani dan ditetuman. Numani artinya adalah yang menyebabkan tuman, sedangkan ditetuman artinya dilatih untuk menjadi tuman. Dari definisi dari kamus di atas bahwa tuman tidak sepenuhnya bermakna negatif. Tuman adalah sebuah kegiatan yang berulang-ulang sehingga menjadi biasa dan itu bisa bersifat baik dan bersifat buruk.
Menampilkan kata tuman disertai gambar orang moro tangan, memukul pipi secara berulang-ulang bisa menyempitkan makna tuman menjadi hanya kegiatan negatif. Lagi, memperlihatkan gambar orang memukul secara berulang-ulang sama saja mengampanyekan kegiatan kekerasan. Gambar itu dilihat terus menerus oleh anak, terekam dalam benak mereka sehingga masuk dalam alam bawah sadar mereka bahwa menampar orang lain adalah sebuah kewajaran. Ada proses perubahan dari gambar menjadi tindakan kekerasan oleh anak. Tidak memproduksi dan menyebarkan meme tuman adalah keikutsertaan kita menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak-anak kita.